KOMPAS.com - Nasional

KOMPAS.com - Nasional


Dada dan Edi Ditanya Soal Asal Usul Uang Suap Hakim

Posted: 23 May 2013 07:16 PM PDT

Dada dan Edi Ditanya Soal Asal Usul Uang Suap Hakim

Penulis : Icha Rastika | Jumat, 24 Mei 2013 | 02:16 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Wali Kota Bandung Dada Rosada diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi selama kurang lebih 12 jam, Kamis (23/5/2013). Dia diperiksa sebagai saksi kasus dugaan suap kepengurusan perkara korupsi bantuan sosial di Pemerintah Kota Bandung.

Dada keluar Gedung KPK, kuningan, Jakarta bersamaan dengan mantan Sekretaris Daerah Pemerintah Kota Bandung, Edi Siswandi. Edi diminta keterangan sebagai saksi dalam kasus yang sama.

Saat meninggalkan Gedung KPK, kedua orang ini irit berkomentar. Namun keduanya mengaku dicecar penyidik terkait asal-usul uang suap kepada hakim Pengadilan Negeri Bandung Setyabudi Tedjocahyono.

"Banyak yang ditanyakan," kata Dada saat ditanya apakah penyidik mencecarnya dengan pertanyaan seputar asal usul uang tersebut. Selebihnya, Dada enggak berkomentar lagi.

Senada dengan Dada, Edi membenarkan ada materi pertanyaan seputar asal usul uang tersebut. "Ya, antara lain," kata Edi kemudian masuk mobil.

Dalam kasus ini, KPK menetapkan empat tersangka, yakni hakim Setyabudi, Plt Kadis Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Pemkot Bandung Herry Nurhayat, Ketua Ormas Gasibu Pajajaran Toto Hutagalung dan anak buahnya, Asep Triana.

Diduga, Toto bersama-sama Herry dan Asep memberikan uang kepada Setyabudi yang menjadi majelis hakim perkara bansos Pemkot Bandung. Uang yang digunakan untuk menyuap hakim itu diduga berasal dari tiga sumber. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto beberapa waktu lalu mengungkapkan, sumber pertama merupakan patungan kepala-kepala daerah, kedua melalui pinjaman pihak ketiga, sementara sumber ketiga belum dia ungkap.

Editor :

Palupi Annisa Auliani

PPATK: Aliran Dana Fathanah Bukan ke Parpol, tapi ke Oknum

Posted: 23 May 2013 03:31 PM PDT

Kasus Suap

PPATK: Aliran Dana Fathanah Bukan ke Parpol, tapi ke Oknum

Penulis : Harry Susilo | Kamis, 23 Mei 2013 | 22:31 WIB

SURABAYA, KOMPAS.com — Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan belum menemukan adanya aliran dana tersangka kasus dugaan suap pengurusan impor daging Ahmad Fathanah ke partai politik atau kementerian.   

"Semua aliran dana Fathanah yang mencurigakan sudah kita kirim ke penegak hukum. Tidak ada yang ke partai politik, tapi ke oknum yang banyak," kata Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf seusai acara peluncuran buku Merampas Aset Koruptor di Auditorium Fakultas Hukum Universitas Surabaya, di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (23/5/2013).

Yusuf menambahkan, terdapat sekitar 40 perempuan yang turut mendapat aliran dana dari Fathanah. Namun, Yusuf belum dapat memastikan dana itu dikategorikan tindak pidana pencucian uang atau sekadar hadiah. "Biar penyidik yang melakukan klarifikasi supaya jelas," ucap Yusuf.

Saat ditanya apakah ada oknum dari Kementerian Pertanian yang turut mendapat aliran dana dari Fathanah, M Yusuf mengaku tidak hafal. "Saya tidak hafal karena tebal," ujar Yusuf.

PPATK juga belum menelusuri aliran dana tersangka kasus dugaan suap pengurusan impor daging lainnya, Luthfi Hasan Ishaaq yang juga mantan Presiden PKS. Yusuf mengakui, PPATK masih fokus di aliran dana Fathanah.

Parpol Pengguna Dana Haram Perlu Didiskualifikasi

Posted: 23 May 2013 03:14 PM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com — Semestinya ada sanksi tegas untuk partai-partai politik yang menggunakan dana hasil korupsi atau tindak pidana pencucian uang. Selain membawa efek jera, parpol terdorong untuk mengelola keuangannya dengan akuntabel dan transparan.

Hal itu disampaikan Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang dan Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow secara terpisah, Kamis (23/5/2013) di Jakarta.

"Tanpa sanksi tegas seperti pembubaran partai atau diskualifikasi parpol dari kesertaan dalam pemilu, parpol tak akan kapok menggunakan dana dari sumber-sumber ilegal," tutur Sebastian.

Jeirry menambahkan, para politikus di DPR memang membuat aturan yang melindungi partai masing-masing. Karenanya, tidak ada aturan yang mengharuskan audit keuangan partai politik, apalagi sanksi bagi parpol yang menggunakan dana hasil tindak pidana.

"Kenapa tidak ada aturan audit keuangan partai? Sebab mereka tahu seperti apa pengelolaan uang parpol. Bahkan bendahara partai bisa mengaku tidak mengetahui dari mana sumber dana untuk kegiatan parpol dan penggunaannya," kata Jeirry.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, menurut anggota KPU Arief Budiman, sudah mengatur dana kampanye yang boleh digunakan peserta pemilu. Dana kampanye tidak boleh berasal dari pihak asing, keuangan negara, dan ada sumber-sumber tak jelas. Ditegaskan pula bahwa sumbangan dari pihak lain yang sah adalah dana yang tidak berasal dari tindak pidana dan tidak mengikat.

Ketika peserta pemilu, baik parpol maupun calon anggota DPD, menerima dana yang bersumber dari tindak pidana, pemberi dana bisa dihukum pidana paling lama penjara dua tahun dan denda. Peserta pemilu yang terbukti menggunakan dana tidak sah pun bisa dipidana maksimal tiga tahun penjara dan denda maksimal Rp 36 juta.

Namun demikian, menurut Arief, sanksi pidana ini sulit diimplementasikan apabila peserta pemilu adalah partai politik. Sanksi pidana hanya mengenai individu. Selain itu, untuk menyatakan peserta pemilu menggunakan dana haram, diperlukan putusan berkekuatan hukum tetap. KPU pun harus menunggu pembuktian korupsi atau tindak pidana pencucian uang oleh KPK atau PPATK.

Ketika ada kekosongan peraturan ini, kata Salang, semestinya ada keberanian dari KPU untuk membuat ketentuan tegas. Sebab, ruang untuk menerapkan sanksi tegas masih ada. KPU bisa mendorong pembubaran parpol ke pengadilan apabila parpol tersebut terbukti menggunakan dana hasil tindak pidana. Apalagi, sepanjang bisa dibuktikan menggunakan dana haram, parpol bisa dibekukan.

Parpol bisa dianggap sebagai korporasi seperti diatur dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Jika demikian, parpol pun bisa didiskualifikasi dari kesertaan sebagai peserta pemilu.

Selain itu, kata Jeirry, partai-partai politik perlu dipaksa membuat pembukuan keuangan secara benar. Pembukuan ini harus diaudit sehingga parpol di Indonesia bisa benar-benar demokratis, transparan, dan akuntabel.

Deddy Kusdinar: Hambalang Hanya Masalah Administrasi

Posted: 23 May 2013 03:08 PM PDT

Deddy Kusdinar: Hambalang Hanya Masalah Administrasi

Penulis : Icha Rastika | Kamis, 23 Mei 2013 | 22:08 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kementerian Pemuda dan Olahraga Deddy Kusdinar diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi selama lebih kurang sembilan jam sebagai saksi kasus dugaan korupsi proyek Hambalang, Kamis (23/5/2013). Deddy diperiksa sebagai saksi untuk salah satu tersangka kasus itu, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng.

Seusai diperiksa, Deddy yang juga menjadi tersangka dalam kasus Hambalang ini membantah adanya proses suap-menyuap dalam pengadaan proyek Hambalang. Menurut Deddy, yang terjadi hanyalah kesalahan administrasi.

"Siapa pun tidak pernah menjanjikan apa pun kepada saya dan saya tidak pernah meminta. Namun dalam perjalanannya, saya yakin sebagai PPK (pejabat pembuat komitmen) ada kesalahan adminstrasi dan saya bertanggung jawab untuk itu," ungkap Deddy di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta seusai diperiksa.

Deddy juga mengaku siap bertanggung jawab atas kesalahan administrasi tersebut. Sebagai PPK, Deddy mengaku tidak sendirian dalam menetapkan PT Adhi Karya sebagai pelaksana proyek Hambalang. "Saya tidak bekerja sendiri, kan ada staf yang menyiapkan materi dan segala macam. Saya bukan koruptor, saya tidak korupsi karena saya tidak menerima apa pun," ungkapnya.

Dalam kasus dugaan korupsi pengadaan sarana dan prasarana olahraga Hambalang, KPK menetapkan tiga tersangka. Selain Deddy dan Andi, KPK menjerat petinggi PT Adhi Karya Teuku Bagus Mohamad Noer. Ketiganya diduga bersama-sama melakukan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara.

Belakangan, KPK menetapkan mantan Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai tersangka. Anas dikenakan pasal berbeda dengan Deddy, Andi, dan Teuku Bagus. Sejauh ini, belum ada tersangka Hambalang yang ditahan KPK. Proses penahanan masih menunggu penghitungan nilai kerugian negara versi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Polisi Temukan "Black Powder" dan Belerang

Posted: 23 May 2013 02:56 PM PDT

Penangkapan

Polisi Temukan 'Black Powder' dan Belerang

Penulis : Ferry Santoso | Kamis, 23 Mei 2013 | 21:56 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com —Aparat kepolisian menemukan sejumlah bahan peledak di rumah tersangka teroris yang ditangkap, Rohadi. Bahan peledak itu antara lain berupa pupuk, belerang, black powder, glue gun, kabel, bubuk korek api, dan pipa besi berdiameter 1,5 inci.

Hal itu disampaikan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar, Kamis (23/5/2013) di Jakarta. Rohadi ditangkap pada pukul 02.40 WIB di sebuah rumah di Jalan Ir Sutami Mauk Timur, Tangerang.

Selain mengamankan sejumlah barang bukti, polisi antiteror juga menangkap buron tersangka kasus terorisme, Sigit. Ia diduga terkait kelompok tersangka Sefa Riano alias Asep dan Achmad Taufiq alias Ovi yang ditangkap pada 2 Mei 2013.

Batal Dibui, Tersangka Korupsi BJB Dirawat di RS Pondok Indah

Posted: 23 May 2013 02:46 PM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com — Tersangka kasus dugaan korupsi Bank Jabar Banten (BJB) Elda Devianne Adiningrat, komisaris PT Radina Niaga Mulia, batal ditahan Kejaksaan Agung dengan alasan sakit. Setelah sempat dirawat di Rumah Sakit Pertamina, Elda dipindahkan ke Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan, Kamis (23/5/2013).

"Terhadap EDA, saat ini dalam perawatan medis di RS Pondok indah setelah sebelumnya diperiksa sebagai tersangka dan jatuh pingsan setelah usai menandatangani berita acara pemeriksaan," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Setia Untung Arimuladi di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Kamis.

Pemindahan perawatan dari RS Pertamina berdasarkan pertimbangan pihak RS Pondok Indah melalui surat nomor 125/V.MR/RSPI/2013 tanggal 23 Mei 2013. Surat itu menerangkan Elda merupakan pasien RS Pondok Indah sejak 20 Mei 2013. "Sedang dalam perawatan medis sejak tanggal 20 Mei 2013, mengingat adanya beberapa penyakit yang diderita tersangka," terang Untung.

Dalam kasus ini, karyawan PT Sang Hyang Seri berinisial DY telah ditahan di Rutan Salemba cabang Kejagung RI pada Kamis (16/5/2013). Kemudian, Manager Komersial Bank Jabar Banten Cabang Jatim Sudewa Dulah dan Direktur Komerial PT E Farm Deni Pasha Satari telah ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (22/5/2013).

Kasus ini berawal saat Bank BJB Cabang Surabaya menyalurkan kredit senilai Rp 55 miliar kepada PT Cipta Inti Permindo (CIP) untuk pengadaan bahan baku pakan ikan. Dalam proyek ini, PT CIP bekerja sama dengan PT E Farm Bisnis Indonesia yang merupakan anak usaha PT Sang Hyang Seri (Persero). PT CIP juga bekerja sama dengan sejumlah vendor, antara lain PT Radina Niaga Mulia, CV Nirwana Indah, dan PT Dana Simba.

Sesuai mekanismenya, kredit dari Bank BJB dicairkan langsung kepada perusahaan vendor. Namun, uang tersebut ternyata tidak dibelikan bahan baku pakan ikan, tetapi disetorkan kepada YS selaku Direktur PT CIP. Penyidik menduga proyek pengadaan bahan baku pakan ikan ini merupakan proyek fiktif. Penyidik kemudian menemukan aliran uang dari YS kepada PT Cipta Terang Abadi.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan juga tengah menelusuri aliran dana terkait dugaan kasus pencucian uang dalam kasus ini. Dalam kasus ini, penyidik telah menetapkan lima tersangka, yakni Direktur PT Cipta Inti Permindo (CIP) berinisial YS, Direktur Komersial PT E Farm Bisnis Indonesia berinisial DPS, karyawan PT Sang Hyang Seri/mantan Direktur Utama PT E Farm Bisnis Indonesia berinisial DY, dan Manajer Komersial Bank BJB Cabang Surabaya berinisial ESD.

Satu tersangka lagi adalah komisaris PT Radina Niaga Mulia, Elda Devianne Adiningrat. Tersangka dikenakan Pasal 2 dan atau Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Pasal 3 UU No 8/2010 tentang Pencucian Uang. Kejagung juga pernah memeriksa Direktur Utama BJB Bien Subiantoro sebagai saksi kasus ini pada Senin (8/4/2013) lalu.

Diam-diam, "Istri Siri" Luthfi Pantau Rumah

Posted: 23 May 2013 02:34 PM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com — Keberadaan DM (19), seorang saksi kasus pencucian uang atas tersangka Luthfi Hasan Ishaaq, hingga kini tidak diketahui keberadaannya. Namun, DM terlihat oleh para tetangga datang ke rumah di kawasan Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur, Kamis (23/5/2013) sore secara diam-diam.

Eni (45), salah seorang pemilik warung yang ada di samping rumah DM menuturkan, perempuan tersebut datang ke rumahnya menggunakan sebuah mobil Karimun Estilo dengan warna hitam Kamis sekitar pukul 17.30 WIB. Di dalam mobil berkaca film, terdapat lima orang, termasuk DM.

"Ada lima orang, dua orang pria di depan. Nah si DM di belakang sama dua teman ceweknya," ujar Eni saat ditemui Kompas.com di warung miliknya. Eni melanjutkan, mobil itu masuk melalui Jalan Bhineka dan sempat berhenti di depan rumah kontrakan yang telah ditinggal sejak sekitar dua bulan silam.

Di depan rumahnya itu, DM sempat membuka kaca mobil sambil menunjuk ke rumah. Tak terdengar apa pembicaraan DM dan rekan lainnya. Tak sampai semenit, mereka pun pergi. "Saya yakin itu yang dibelakang DM. Kan saya tahu orangnya. Pakai pakaian biasa gitu, kaos, sama kayak teman-teman lainnya," lanjutnya.

Keberadaan DM yang tidak lama tersebut lepas dari pantauan wartawan. Pasalnya, kebanyakan wartawan tengah berada di rumah DM yang lama untuk mengejar konfirmasi dari sang ibu. Oleh sebab itu, rumah wanita yang disebut banyak pihak sebagai istri siri Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang besar tersebut, lepas dari pantauan.

DM adalah seorang pelajar SMK di Jakarta Timur yang pernah dipanggil KPK sebagai saksi kasus dugaan pencucian uang Luthfi. Remaja cantik kelahiran Bondowoso, 29 Maret 1994 tersebut diduga punya hubungan sekaligus dialiri sejumlah dana oleh Luthfi Hasan. Catatan Kompas.com menyebut, DM pertama kali dipanggil KPK, 12 April 2013.

Saat itu DM dipanggil sebagai saksi bersama dengan dua istri Luthfi, Sutiana Astika dan Lusi Tiarani Agustine karena dianggap tahu aliran aset Luthfi. Karena tak hadir, KPK menjadwal kembali pemanggilan DM pada 17 Mei 2013. Namun, DM kembali tidak memenuhi panggilan pemeriksaan KPK.

Bernomor Urut 4, Tjahjo Kumolo: Ini Amanat Partai

Posted: 23 May 2013 02:22 PM PDT

Bernomor Urut 4, Tjahjo Kumolo: Ini Amanat Partai

Penulis : Dani Prabowo | Kamis, 23 Mei 2013 | 21:22 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Sekretaris Jendral PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo mendapatkan nomor urut empat di Daerah Pemilihan Jawa Tengah I. Sebelumnya, pada saat penyerahan berkas bakal caleg pertama kali ke Komisi Pemilihan Umum, dirinya mendapatkan nomor urut satu di dapil yang sama. Mendapati nomor urutnya berubah, Tjahjo mengaku tidak terlalu mempersoalkan hal itu. Dirinya beranggapan, nomor urut tidak akan memberikan pengaruh besar terhadap perolehan dukungan.

Selain itu, Tjahjo mengatakan, sudah menjadi kewajiban bagi setiap kader untuk menerima setiap nomor urut yang telah ditentukan partai. "Setiap calon yang daftar ke partai maupun yang ditugaskan partai duduk sebagai calon anggota DPR adalah penugasan partai, jadi tidak terpaku pada nomor urut," kata Tjahjo melalui pesan singkat yang diterima wartawan, Kamis (23/5/2013).

Anggota Komisi I DPR RI ini membantah perubahan nomor urut tersebut merupakan sebuah kesengajaan untuk menyamai nomor PDI Perjuangan sebagai peserta Pemilu 2014. Seperti diketahui, PDI Perjuangan di dalam kesertaan Pemilu 2014 mendapat nomor urut empat.

"Bagi saya bukan soal terpilih atau tidak sebagai anggota DPR, tapi saya punya kewajiban dan tanggung jawab untuk menambah suara buat partai agar menang pemilu legislatif," ujarnya.

Sebelumnya, pada saat penyerahan berkas bakal caleg yang telah diperbaiki ke KPU, Selasa (21/5/2013), Tjahjo mengatakan, ada sejumlah perubahan di dalam formasi daftar bakal caleg yang diserahkan. Perubahan tersebut meliputi perubahan dapil, nomor urut, hingga penghapusan bakal caleg yang terindikasi ganda.

"Kalau yang ganda, otomatis keluar. Sisanya ada perubahan dari nomor urut dan dapil," katanya.

No comments:

Post a Comment