KOMPAStekno

KOMPAStekno


Studi: Anak Muda Mendominasi Dunia Teknologi

Posted: 14 Jul 2013 12:38 AM PDT

KOMPAS.com - Teknologi adalah dunianya anak muda. Demikian hasil studi yang dilakukan PayScale, perusahaan riset yang berbasis di Seattle, AS. Hasil studi itu dipaparkan oleh Quentin Hardy, seorang kolumnis di Bits, NYTimes.com.

Untuk studinya, PayScale melakukan survei yang melibatkan 21.700 karyawan dari 32 perusahaan teknologi di negeri AS. Dari survei tersebut, kebanyakan perusahaan teknologi yang tengah berkembang saat ini didominasi oleh karyawan muda, dan laki-laki.

Survei itu juga menunjukkan bahwa tidak banyak karyawan perempuan yang bekerja di dunia teknologi. Umumnya, karyawan perempuan hanya berjumlah sekitar 30% saja di setiap perusahaan. Perusahaan yang bergerak di bidang teknis, misalnya di bidang semikonduktor, malah memiliki karyawan perempuan lebih sedikit lagi.

Dari 32 perusahaan yang disurvei oleh PayScale, ada 8 perusahaan yang memiliki karyawan dengan usia rata-rata termuda, tidak lebih dari 30 tahun. Mereka termasuk dalam daftar perusahaan yang sedang bersinar, yakni Epic Game (rata-rata karyawannya berusia 26 tahun), Facebook dan Zynga (28 tahun), Google (29 tahun), serta AOL, Blizzard Entertainment, InfoSys, dan Monster.com (30 tahun).

Padahal dulu, menurut data dari Biro Stastistik Tenaga Kerja AS, hanya toko sepatu dan restoran yang banyak mempekerjakan orang-orang muda berusia kurang dari 30 tahun. Sementara, usia rata-rata para pekerja di Amerika adalah 42,3 tahun.

Kembali ke studi PayScale. Dari 32 perusahaan, hanya ada 6 perusahaan yang memiliki pekerja berusia rata-rata lebih dari 35 tahun. Keenam perusahaan itu adalah, Hewlett-Packard (rata-rata karyawannya berusia 41 tahun), IBM Global Services (38 tahun), Oracle (38 tahun), Nokia (36 tahun), Dell (37 tahun) dan Sony (36 tahun). Sementara perusahaan dengan karyawan berusia rata-rata 31-35 tahun, contohnya Cisco Systems (35 tahun), serta Samsung dan Microsoft (keduanya 34 tahun).

Fakta ini sebenarnya tidak mengejutkan. Perusahaan-perusahaan yang lebih lama eksis biasanya memang memiliki banyak karyawan yang berusia lebih tua, yang sudah bekerja di sana selama bertahun-tahun. Coba bandingkan dengan perusahaan yang lebih muda. Facebook, misalnya. Banyak karyawan Facebook masih muda, karena perusahaan milik Mark Zuckerberg ini belum lama berdiri (dibandingkan dengan HP, IBM, ataupun Oracle), dan baru mulai gencar merekrut karyawannya sekitar setahun lalu.

Selain itu, ada kecenderungan lain yang disorot oleh PayScale. Perusahaan yang memiliki banyak karyawan muda umumnya lebih inovatif dan berkembang. Hal utama yang mempengaruhi kondisi itu adalah skill dari para karyawan.

Generasi Baby Boomers dan Gen X mengenal teknologi pemrograman lawas, seperti bahasa pemrograman C# dan teknologi database SQL. Sementara generasi di bawah mereka, yakni Gen Y, mengenal teknologi yang lebih baru, seperti bahasa pemrograman Phyton, beragam aplikasi social media, dan Hadoop. Hadoop adalah framework open-source yang mendukung aplikasi data terdistribusi. Hadoop dikembangkan berdasarkan konsep Google File System.

Baby boomers adalah generasi yang lahir pasca Perang Dunia II, antara tahun 1946 hingga 1964. Gen X lahir setelahnya—pada rentang tahun 1960-an hingga 1980-an awal. Gen X juga dikenal sebagai digital immigrant. Mereka beradaptasi terhadap penggunaan teknologi.

Sementara Gen Y, yang juga disebut sebagai generasi millennial, lahir dalam rentang tahun 1980-an hingga 2000-an. Gen Y dikenal sebagai digital native, atau generasi yang sudah terbiasa menggunakan teknologi sejak kecil. Jadi, semakin muda suatu generasi, semakin dalam pula mereka menggunakan teknologi, dan semakin mudah pula mereka mempelajari atau membuat inovasi.

Terungkap, Microsoft Izinkan Skype dan SkyDrive Disadap

Posted: 13 Jul 2013 10:17 PM PDT

KOMPAS.com — Sebuah dokumen mengungkapkan bagaimana Microsoft bekerja sama dengan badan intelijen Amerika untuk membaca pesan dari pemakai, termasuk membantu Badan Keamanan Nasional Amerika (NSA) membuka kode rahasia Microsoft, Guardian Australia melaporkan Jumat (12/7/2013).            

Dokumen rahasia yang diperoleh Guardian dari Edward Snowden, pembocor rahasia intelijen Amerika, mengungkapkan tingkat kerja sama antara Silicon Valley dan badan-badan intelijen Amerika dalam tiga tahun terakhir.

Dokumen tersebut antara lain menunjukkan, Microsoft membantu NSA untuk membaca percakapan di portal baru Outlook.com dengan memberikan kode rahasia perusahaan. NSA mempunyai akses pada Outlook.com termasuk Hotmail sebelum pesan-pesan itu ditulis dalam bentuk kode (encrypted).

Microsoft bekerja sama dengan FBI tahun ini agar NSA mendapat akses yang lebih mudah melalui Prism ke gudang data SkyDrive yang mempunyai 250 juta pemakai di dunia.

Microsoft juga bekerja sama dengan FBI agar badan intelijen ini "mengerti" isu-isu yang potensial di Outlook.com yang memperbolehkan pemakai menggunakan alias untuk e-mail mereka.

Bulan Juli tahun lalu, sembilan bulan setelah Microsoft membeli Skype, NSA dengan bangga menyebutkan bahwa NSA telah mampu meningkatkan jumlah video yang dapat mereka akses melalui Skype sebanyak tiga kali lipat melalui program Prism. Bahan-bahan yang diperoleh dari program Prism diakses secara rutin oleh FBI dan CIA. Salah satu dokumen NSA disebut punya nama "tim sport".

Dokumen Snowden ini juga mengungkapkan adanya ketegangan antara Silicon Valley dan pemerintah Obama. Perusahaan-perusahaan teknologi ternama melobi pemerintah agar mereka diperbolehkan untuk mengungkapkan tingkat kedalaman kerja sama mereka dengan NSA untuk mengatasi kekhawatiran pelanggan dalam soal privasi.

Para pemimpin perusahaan berusaha untuk tidak mengklaim bahwa mereka telah berkolaborasi dan bekerja sama dengan badan-badan intelijen seperti disebutkan dalam dokumen NSA dengan argumen bahwa proses tersebut dilakukan sesuai dengan tuntutan hukum.

Dalam sebuah pernyataan, Microsoft mengatakan, "Bila kami meningkatkan kemampuan (upgrade) dan memperbarui produk-prudok kami, kami tidak terbebas dari keharusan menaati hukum yang berlaku, baik kini maupun hari ke depan."

Microsoft menekankan kembali argumennya bahwa mereka memberikan data-data pelanggan "hanya sebagai respons terhadap permintaan pemerintah, dan kami hanya melayani permintaan atas alamat atau identitas khusus".

Bulan Juni lalu, Guardian melaporkan bahwa NSA mengklaim mempunyai "akses langsung" melalui program Prism pada sistem perusahaan-perusahaan internet ternama termasuk Microsoft, Skype, Apple, Google, Facebook, dan Yahoo.

Bisnis PC Lesu, dan Juga Tak Laku?

Posted: 13 Jul 2013 09:24 PM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com — Lesunya pasar PC global ternyata tidak mengganggu bisnis perusahaan peripheral PC asal Swiss, Logitech. Malahan, di negara berkembang, khususnya Indonesia, penjualan produk Logitech, seperti mouse dan keyboard, mengalami peningkatan.

Menurut Moninder Jain, Managing Director Logitech Asia Pasifik-Jepang, penjualan PC di Indonesia sebenarnya masih mengalami pertumbuhan setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan penetrasi perangkat ini masih rendah.

"Selama masih ada yang membeli PC, pasti perangkat peripheral masih dicari konsumen," kata Moninder saat berbincang dengan KompasTekno di Jakarta.

Moninder tidak mau membeberkan seberapa besar peningkatan penjualan yang mereka raih di Indonesia. Namun, ia memberikan sedikit bocoran bahwa peningkatan yang didapatkan cukup besar.

"Peningkatan di Indonesia mencapai double digit," ungkap Moninder.

Harga premium, bukan masalah

Pasaran PC global memang terus melambat, tetapi, menurut Moninder, pasar PC khusus di dunia gaming malah terus mengalami pertumbuhan. Oleh karena itu, tidak heran apabila perusahaan yang sudah berusia 32 tahun ini mulai fokus ke dunia gaming dengan meluncurkan seri khusus gaming, Logitech G.

Salah satu permasalahan dari perangkat gaming adalah banderol harganya yang terkadang sangat tinggi. Hal tersebut disebabkan, perangkat-perangkat jenis ini biasanya dilengkapi dengan berbagai fitur tambahan, seperti tombol makro dan sensitivitas yang lebih tinggi.

Sekadar informasi, harga perangkat mouse Logitech G termurah dipatok sekitar 29 dollar AS atau sekitar Rp 290.000.

Menanggapi hal tersebut, Moninder mengaku tetap optimis dengan penjualan perangkat milik Logitech. Menurutnya, meskipun memiliki harga yang tidak ramah di kantong, produk-produk Logitech tidak terbatas di perangkat gaming saja dan masih menjadi yang paling dicari.

"Beberapa produk kami tidak masuk ke level entry, tetapi market share untuk beberapa jenis produk kami masih tetap nomor 1 di Indonesia. Harga tidak menjadi penghalang konsumen untuk membeli produk kami," katanya.

No comments:

Post a Comment