KOMPAS.com - Nasional

KOMPAS.com - Nasional


Mahfud MD: Pemerintah Harus Kaji Ulang PP 99 Tahun 2012

Posted: 30 Jul 2013 12:23 PM PDT

BANDUNG, KOMPAS.com — Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD berpendapat Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang menuai kontroversi perlu dikaji ulang. Menurut dia, keadilan tetap perlu ditegakkan kepada para narapidana tanpa memandang kasusnya. 

"Sistem pembinaan yang disediakan sekarang dalam bentuk remisi dan sebagainya saya kira perlu dibicarakan lebih serius oleh pemerintah sehingga tidak semua orang diperlakukan sama, padahal kasus dan kebutuhannya berbeda," kata Mahfud usai mengunjungi Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin di Bandung, Jawa Barat, Selasa (30/7/2013).

Dalam penerapan PP itu, ujar Mahfud, narapidana kasus korupsi terkesan dihukum dua kali, yaitu dengan vonis pengadilan dan hilangnya hak sebagai narapidana. "Bentuk hukumnya apakah cukup dengan PP atau apa? Itu memang harus dibicarakan lebih lanjut," tegas dia.

Kendati demikian, Mahfud pun berpendapat penegakan hukum secara tegas terhadap pelaku tindak pidana korupsi harus terus dijalankan. "Tapi, keadilan juga jauh lebih penting daripada menangkap orang," imbuh dia.

Editor : Palupi Annisa Auliani

Saksi Tak Dapat Buktikan Hasil Perputaran Uang Djoko Susilo

Posted: 30 Jul 2013 09:37 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com — Saksi Subekti Adiyanto tak dapat membuktikan hasil perputaran uang yang dipercayakan Inspektur Jenderal Djoko Susilo menjadi miliaran rupiah. Subekti hanya mengungkapkan secara lisan bahwa dirinya pernah menggunakan modal Rp 200 juta dari Djoko menjadi miliaran rupiah dengan berbisnis.

"Saudara punya enggak catatan soal semua transaksi itu? Ini kan nilai bisnisnya besar, bahkan sampai miliaran. Harus ada bukti, dalam persidangan ini tidak bisa lewat lisan saja," ujar jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pulung Rinandoro, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Selasa (30/7/2013).

Subekti dihadirkan sebagai saksi meringankan (a de charge) oleh tim penasihat hukum Djoko Susilo dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi Simulator SIM dan pencucian uang. Atas pertanyaan jaksa itu, Subekti yang merupakan seorang pengusaha mengaku selama ini tidak pernah mencatat semua transaksi dalam sistem pembukuan. Hubungan bisnis Subekti dan Djoko hanya atas dasar saling percaya.

"Saya enggak pernah catat, hanya lisan saja. Kita modal percaya saja," katanya.

Jaksa Kemas Abdul Roni lantas menanyakan Subekti apakah seorang polisi boleh berbisnis dan menghasilkan keuntungan yang cukup besar. Subekti pun mengaku tidak mengetahuinya. Dia juga mengaku tidak pernah mempertanyakan sumber uang Rp 200 juta dari Djoko itu.

"Tidak tahu. Saya tidak pernah menanyakan dari mana uangnya," jawab Subekti saat ditanya Jaksa Kemas.

Sebelumnya, Subekti mengaku kenal dengan Djoko pada 1990 saat masih menjabat sebagai Kasatlantas Sukakarta. Perkenalan itu dimulai ketika Subekti menjadi anggota Ikatan Motor Besar Indonesia (IMBI). Kemudian, pada 1991, dia dan Djoko bekerja sama.

Djoko memberikan dana Rp 200 juta, kemudian dikelola oleh Subekti dengan berbagai usaha. Uang tersebut dikelola Subekti dengan membeli perhiasan, simpan pinjam, hingga jual beli barang. Setelah itu, disepakati dengan membagi keuntungan sebanyak 70 persen untuk Djoko dan 30 persen untuk Subekti.

Menurut dia, keuntungannya selalu meningkat. Awalnya, pada 1992 uang menjadi Rp 230 juta, kemudian pada 1995 mencapai Rp 635 juta. Hingga pada tahun 2000, keuntungan meroket menjadi Rp 6,1 miliar. Bisnisnya juga tak pernah merugi. Bahkan, pada tahun 2007 mencapai Rp 22 miliar.

Beberapa kali Djoko juga mengambil uang tersebut ketika membutuhkan uang. Terakhir, pada tahun 2010 totalnya mencapai Rp 14,8 miliar dan telah diberikan pada Djoko.

Editor : Hindra Liauw

KPU Tak Janji Data Disabilitas Ada di DPT

Posted: 30 Jul 2013 09:29 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengakui pihaknya belum memisahkan data pemilih penyandang disabilitas dalam daftar pemilih sementara (DPS). Ketua KPU Husni Kamil Manik pun pesimistis jika data penyandang disabilitas bisa dicantumkan dalam daftar pemilih tetap (DPT) yang akan menjadi basis data Komite Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) saat pelaksanaan pemungutan suara mendatang.

"Sampai sekarang memang belum ada. Laporan dari bawah hal itu (pendataan penyandang disabilitas) memang belum dimasukkan. Nanti kami akan coba masukkan datanya," ujar Husni di Jakarta, Selasa (30/7/2013).

Saat ditanyakan kapan KPU bisa memisahkan data pemilih penyandang disabilitas, Husni tidak bisa berjanji. Menurutnya, untuk memilah data kembali ke lapangan, dibutuhkan waktu yang cukup panjang. Ia pun tak bisa memastikan data pemilih penyandang disabilitas bisa dicantumkan dalam DPT yang akan diumumkan pada September mendatang.

"Saya belum bisa pastikan, tetapi kami akan berupaya karena DPT kan September. Untuk membuat data itu, perlu komunikasi lagi ke lapangan, bayangkan berapa banyak yang harus didata, kecuali memang data itu sudah ada dalam data base kami," ungkap Husni.

Sebelumnya, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Mochammad Afifuddin mengatakan, Indonesia ternyata tidak pernah memiliki data pemilih disabilitas. Padahal, Indonesia sudah meratifikasi konvensi hak-hak penyandang cacat. Hal ini terungkap dari penelitian yang dilakukan.

"Tidak ada data pemilih disabilitas di masing-masing daerah. Data yang kami pakai ini murni improvisasi teman-teman kami di lapangan," ujar Afif, Selasa (30/7/2013).

Afif menjelaskan untuk mencari data itu, pihaknya bahkan harus menyusuri data satu per satu ke Komite Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan Panitia Pemilu Kecamatan (PPK). Dari data yang didapat satu per satu itu, JPPR kemudian merangkumnya.

Menurut Afif, anggota KPPS yang mendata pemilih di wilayahnya sebenarnya sudah mencantumkan ada pemilih disabilitas. Namun, entah kenapa, saat masuk di dalam DPT keterangan pemilih penyandang disabilitas hilang.

Editor : Hindra Liauw

Data Kaum Disabilitas, KPU Minta Publik Partisipatif

Posted: 30 Jul 2013 09:22 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengaku belum memiliki data pemilih disabilitas. KPU malah berharap masyarakat melaporkan keberadaan pemilih disabilitas.

"Sebetulnya memang kami minta Pantarlih (Panitia Pemutakhiran Data Pemilih) untuk mencatatkan pemilih yang disabilitas dalam proses coklit (pencocokan dan penelitian). Tapi, belum kami cek lagi. Sekarang memang belum ada data pemilih disabilitas," ujar Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay saat ditemui di sela-sela rapat konsultasi dengan DPR di Jakarta, Selasa (30/7/2013).

Hanya, kata dia, petugas Pantarlih alpa mencatatkan pemilih disabilitas saat proses pemutakhiran dilakukan. Di sisi lain, lanjutnya, masyarakat pun enggan melaporkan keberadaan pemilih disabilitas.

Ia mengatakan, KPU sebenarnya sudah menyiapkan pendataan pemilih disabilitas. Hal itu, lanjutnya, tampak pada ada kolom dan kode khusus yang disiapkan untuk pemilih disabilitas. "Hanya memang belum kami hitung dan catat," lanjut Hadar.

Hadar mengatakan, pihaknya berharap dalam tahapan masukan masyarakat atas pengumuman daftar pemilih sementara (DPS), ada laporan yang akurat soal pemilih disabilitas. Dikatakannya, masukan diterima hingga Kamis, 1 Agustus 2013 mendatang.

Meski demikian, katanya, masukan masyarakat juga ditunggu hingga DPS hasil perbaikan (DPSHP) diumumkan pada pertengahan Agustus nanti. Hadar mengatakan, pendataan pemilih disabilitas penting untuk menyiapkan fasilitas pelayanan pemungutan suara dalam pemilu mendatang.

Hal yang sama disampaikan Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah. Ia mengatakan, saat proses pemutakhiran data pemilih dan pencocokan dan penelitian data pemilih, Pantarlih memang diminta untuk mendata pemilih disabilitas. Namun, katanya, tidak dapat dipastikan apakah semua pemilih disabilitas tercatat atau tidak.

Dia mengungkapkan, petugas Pantarlih tidak akan lagi turun ke daerah untuk mencatat pemilih disabilitas. Untuk itu, katanya, KPU bergantung kepada masukan masyarakat untuk melaporkan anggota keluarga atau warga yang disabilitas.

Sebelumnya, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Mochammad Afifuddin mengatakan, Indonesia ternyata tidak pernah memiliki data pemilih disabilitas. Padahal, Indonesia sudah meratifikasi konvensi hak-hak penyandang cacat. Hal ini terungkap dari penelitian yang dilakukan.

"Tidak ada data pemilih disabilitas di masing-masing daerah. Data yang kami pakai ini murni improvisasi teman-teman kami di lapangan," ujar Afif, Selasa (30/7/2013).

Afif menjelaskan, untuk mencari data itu, pihaknya bahkan harus menyusuri data satu per satu ke Komite Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan Panitia Pemilu Kecamatan (PPK). Dari data yang didapat satu per satu itu, JPPR kemudian merangkumnya.

Menurut Afif, anggota KPPS yang mendata pemilih di wilayahnya sebenarnya sudah mencantumkan ada pemilih disabilitas. Namun, entah kenapa, saat masuk di dalam daftar pemilih tetap (DPT) keterangan pemilih penyandang disabilitas hilang.

Editor : Hindra Liauw

Patrialis Akbar Jadi Hakim Konstitusi

Posted: 30 Jul 2013 09:11 AM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono resmi menunjuk Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi dari unsur pemerintah. Patrialis, mantan Menteri Hukum dan HAM, menggantikan pendahulunya, Achmad Sodiki. Selain itu, Presiden juga memperpanjang masa jabatan Maria Farida Indrati sebagai hakim konstitusi periode 2013-2018.

Demikian hal ini disampaikan Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha kepada Kompas.com, Selasa (30/7/2013). "Keduanya menjadi hakim konstitusi melalui keputusan presiden," kata Julian.

Secara terpisah, Ketua MK Akil Mochtar mengatakan, ia telah menerima keppres pengangkatan Patrialis pada Senin (29/7/2013) sore.

"Kemarin (Senin) sore keppres-nya sudah saya terima," kata Akil seperti dilansir Antara.

Akil mengungkapkan bahwa keppres itu intinya berisi tentang pemberhentian Achmad Sodiki dan mengangkat Patrialis sebagai hakim konstitusi untuk periode 2013-2018.
     
Akil mengatakan, masa jabatan Achmad Sodiki dan Maria Farida akan berakhir pada pertengahan Agustus 2013. Achmad Sodiki tidak diperpanjang karena mendekati usai pensiun hakim konstitusi, yakni 70 tahun.

"Pak Sodiki tinggal satu tahun lebih (69 tahun), mungkin itu yang menjadi pertimbangan (tidak diperpanjang)," kata Akil.

Sementara Maria Farida saat ini masih berumur 64 tahun sehingga masih memiliki masa jabatan satu periode lagi.

Patrialis adalah advokat sekaligus politisi Partai Amanat Nasional (PAN). Sebelumnya, Patrialis juga pernah menjabat sebagai anggota DPR selama dua periode dari daerah pemilihan Sumatera Barat.

Pria kelahiran Padang 31 Oktober 1958 ini telah memperoleh gelar sarjana hukum dari Universitas Muhammadiyah Jakarta dan meraih gelar doktor dari Universitas Padjadjaran Bandung.

Editor : Hindra Liauw

Hak Politik Penyandang Disabilitas yang Dibungkam

Posted: 30 Jul 2013 08:45 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com — Gegap gempita pesta demokrasi di berbagai daerah di Indonesia ternyata tidak dirasakan bagi para kaum minoritas, penyandang disabilitas. Bagi tunanetra, hak politik mereka untuk memilih kandidat pilihannya terpaksa tak bisa digunakan lantaran tak adanya alat bantu kertas suara huruf braille yang disediakan penyelenggara pemilu. Sementara itu, bagi tunadaksa, lokasi tempat pemungutan suara (TPS) cukup menyulitkan mereka untuk memilih.

"Indonesia masih belum ramah terhadap penyandang disabilitas. Dari lima daerah yang kami survei, dua daerah, yakni Tangerang dan Pangkal Pinang, tidak punya sama sekali template braille. Alasannya setiap kali kami berdebat, mereka berdalih tidak ada mandat untuk menyediakan itu," ujar Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Mochammad Afifuddin di dalam diskusi di Hotel Kempinski, Jakarta, Selasa (30/7/2013).

Di daerah lainnya seperti DKI Jakarta dan Mamuju, sebut Afif, fasilitas bagi penyandang disabilitas juga belum maksimal. Ia mecontohkan pada Pemilukada DKI Jakarta tahun 2012, KPU Provinsi DKI Jakarta sama sekali tidak menyediakan kerta suara huruf braille bagi tunanetra. Setelah ditegur dan diberikan pembimbingan, KPU DKI Jakarta akhirnya menyediakan kertas suara huruf braille pada putaran kedua.

Sementara itu di Mamuju, kertas suara tidak dibuat dalam huruf braille. Namun, bagi tunanetra disediakan kertas suara dengan huruf timbul. Selain itu, bagi tunadaksa, kata Afif, nasibnya setali tiga uang. Posisi TPS hingga kini masih dinilai tidak membuat akses bagi penyandang disabilitas. Seharusnya TPS itu dilengkapi dengan jalan khusus pengguna kursi roda hingga bentuk bilik suara yang membuat tidak nyaman.

Hal lain yang disoroti JPPR adalah ketidakpahaman para penyelenggara pemilu dalam memberikan informasi hingga pada saat hari pemungutan suara. "Di beberapa tempat, bagi penyandang disabilitas, mereka memilih di rumahnya sendiri didatangi petugas. Tetapi, di situ tidak ada kerahasiaan, kertas suara dibuka begitu saja di meja untuk dipilih penyandang disabilitas. Padahal, prinsip utama pemilu luber (langsung, umum, bebas, rahasia)," ucap Afif.

Lebih lanjut, Afif mengusulkan agar KPU segera menerbitkan petunjuk pelaksanaan bagi para petugas KPPU tentang cara berinteraksi dengan penyandang disabilitas. Pelatihan terhadap mereka juga perlu diintensifkan.

Berdasarkan data ASEAN General Election for Disability Access (Agenda), penyandang disabilitas di seluruh dunia mencapai 15 persen dari total jumlah penduduk. Sementara itu, jumlah penyandang disabilitas di kawasan Asia Tenggara mencapai 90 juta orang dari 600 juta penduduk.

Afif mengingatkan bahwa Indonesia sudah meratifikasi konvensi hak-hak penyandang cacat. Dengan demikian, dibutuhkan komitmen dan konsistensi penyelenggara pemilu bagi penyandang disabilitas. "Penyandang disabilitas tidak meminta diistimewakan. Mereka hanya mau hak-haknya, sama juga seperti kita, untuk dilindungi," tutup Afif.

Editor : Hindra Liauw

Masih Ada Napi Terorisme Tak Akui Pancasila

Posted: 30 Jul 2013 08:27 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com
 — Pemerintah sudah menjalankan program deradikalisasi terhadap narapidana kasus terorisme selama tujuh bulan terakhir. Meski program dinilai berhasil, masih ada teroris yang memiliki ideologi radikal.

Hal itu diungkap Deputi I Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Bidang Pencegahan Mayjen TNI Agus Surya Bakti seusai bersilaturahim dengan napi terorisme di Lembaga Permasyarakatan Kelas I Cipinang, Jakarta, Selasa (30/7/2013) malam.

Ikut hadir Kepala Lapas Cipinang Dewa Putu Gede, perwakilan Direktorat Jenderal Permasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Iwan Pramono, dan Direktur Klinik Pancasila Dodi Susanto.

Secara nasional, ada 244 napi terorisme yang tersebar di 32 lapas. Sebanyak 58 napi di antaranya menjalani pidana di Lapas Cipinang. Dari 58 napi itu, kata Agus, sebanyak 11 napi tidak bersedia mengikuti program deradikalisasi Cinta NKRI yang dijalankan Klinik Pancasila.

Program tersebut sudah berjalan sejak Januari 2013 dengan melibatkan berbagai instansi, yakni BNPT, Kemenkumham, Kejaksaan Agung, dan Densus 88 Antiteror Polri. Dari 58 napi, 11 orang belum mau. "Sisanya mau kerja sama," kata Agus.

Dodi menambahkan, secara nasional tengah dikumpulkan data berapa napi terorisme yang belum bersedia mengikuti program Cinta NKRI. Hanya, ia memperkirakan tidak lebih dari 5 persen.

Dodi menjelaskan, banyak kegiatan yang dijalankan dalam program tersebut untuk menumbuhkan rasa cinta NKRI. "Contohnya, bernyanyi lagu-lagu bertema NKRI. Mereka mau bernyanyi Garuda Pancasila," kata Dodi.

Menurut Dodi, mereka yang mengikuti program deradikalisasi cenderung kooperatif. Ia yakin, mereka memang ingin berubah, bukan berpura-pura. Pasalnya, kata dia, napi terorisme memiliki karakter jujur. Berbeda dengan napi narkotika yang memiliki karakter berbohong. Adapun napi korupsi cenderung tidak cinta ibu kandung. Jadi, lebih mudah membina napi terorisme, kata dia.

Namun, tambah Dodi, tetap ada napi terorisme yang tidak berubah. Mereka tetap tidak mengakui Pancasila dan NKRI serta tetap ingin mendirikan negara Islam. Meski demikian, pihaknya tetap akan terus berupaya melakukan deradikalisasi.

Lalu, bagaimana jika mereka tetap tidak berubah sampai masa pidana habis? Dodi menjelaskan, Densus 88 Antiteror Polri akan terus memonitor semua napi teroris pascakeluar dari lapas. Selain itu, juga akan dilakukan pendekatan terhadap keluarga mereka.

Remisi

Putu mengatakan, pihaknya akan mengusulkan kepada Kemenkumham agar semua napi terorisme untuk mendapatkan remisi Idul Fitri dan Kemerdekaan RI. Pasalnya, mereka sudah memenuhi syarat, yakni menjalankan pidana lebih dari 1/3 vonis dan berkelakuan baik.

Hanya, Kemenkumham akan memutuskan siapa saja yang mendapatkan remisi. Keputusan akan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, yang salah satunya berisi pengetatan pemberian remisi bagi napi terorisme.

Dodi mengatakan, pihaknya akan memberikan hasil program Cinta NKRI kepada Kemenkumham sebagai bahan pertimbangan pemberian remisi. Mengikuti program deradikalisasi merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan remisi.

Dua atau tiga hari sebelum hari raya Idul Fitri akan turun siapa saja yang mendapat remisi, kata Iwan.

Editor : Hindra Liauw

Mendagri: DPRD, Tindak Pengguna Mobil Dinas untuk Mudik

Posted: 30 Jul 2013 08:17 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi menegaskan, mobil dinas tidak boleh digunakan untuk mudik. Dia meminta DPRD menjalani pengawasan dan menindak pelanggaran atas penggunaan mobil dinas untuk kepentingan di luar dinas.

"Prinsipnya, tidak boleh (kendaraan dinas untuk mudik). Mobil dinas itu tentu untuk mendukung kegiatan dinas. Aturannya seperti itu," kata Gamawan di Gedung Kementerian Dalam Negeri, Selasa (30/7/2013).

Dia menyatakan, meski menggunakan bahan bakar yang dibeli sendiri, penggunaan kendaraan dinas untuk kepentingan di luar dinas juga dilarang. Namun, kata Gamawan, pihaknya tidak bisa langsung memberi tindakan bagi kepala daerah yang menggunakan atau bahkan hanya mengizinkan penggunaan kendaraan dinas untuk mudik.

Ia mengatakan, pemerintah telah mengamanatkan kepada daerah untuk menindak pelanggaran terhadap aturan penggunaan fasilitas dinas. "Tentu di daerah sudah ada DPRD. Mereka yang mengontrol. Itu, kan, soal penggunaan aset daerah, itu DPRD yang mempersoalkan. Jangan pusat juga semuanya. Pusat sudah buat norma standar, prosedur, pengawasannya silakan daerah," ujar mantan Gubernur Sumatera Barat itu.

Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cianjur, Jawa Barat, menjelaskan, kalau ada yang ingin menggunakan kendaraan dinas untuk mudik, harus melalui prosedur yang sudah ditetapkan. Wakil Bupati Cianjur Suranto mengaku, pada prinsipnya Pemkab Cianjur tidak keberatan jika kendaraan dinas digunakan untuk keperluan mudik. Namun, penggunaannya tidak bisa seenaknya.

"Harus ada permohonan izin penggunaannya terlebih dahulu karena menggunakan fasilitas negara. Tapi, sampai saat ini kami belum membahas boleh atau tidaknya kendaraan dinas digunakan untuk mudik," kata Suranto, Selasa (30/7/2013).

Menurut Suranto, setiap pegawai negeri sipil (PNS) yang menggunakan kendaraan dinas harus selalu bertanggung jawab dalam penggunaannya. Jika ada kerusakan atau hal lainnya, setiap PNS yang menggunakannya harus mengeluarkan kocek sendiri.

Editor : Hindra Liauw

No comments:

Post a Comment