KOMPAS.com - Nasional

KOMPAS.com - Nasional


Gerindra: Vonis Angie Adalah Korupsi Keadilan Rakyat

Posted: 13 Jan 2013 09:08 AM PST

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menilai putusan majelis hakim yang memvonis Angelina Sondakh dengan hukuman 4,5 tahun penjara telah mengkorupsi rasa keadilan rakyat.

"Ini preseden buruk bagi pemberantasan korupsi di Indonesia, dan sebuah langkah mundur," kata Fadli dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu (13/1/2013).

Dia mengatakan penilaian hakim bahwa Angie tidak wajib mengembalikan uang kepada negara, hal itu jauh dari akal sehat apalagi nurani kebenaran. Menurut dia, di dalam pasal 18 Undang-Undang Tipikor mengatur tentang pengembalian kepada negara atas uang hasil korupsi.

Menurut Fadli, kasus Angie itu menandakan hukum belum bisa cerminkan rasa keadilan rakyat, malah melukai nurani keadilan masyarakat Indonesia. Bagaimana bisa, kata Fadli, sudah terbukti korupsi dan menerima uang, tetapi tidak diminta mengembalikan uang kepada negara.

Bahkan hukumannya tidak lebih dari hukuman maling ayam yang vonis ancamannya 5 tahun penjara. "Maling ayam saja ancaman vonisnya 5 tahun penjara sedangkan korupsi Rp 2,5 miliar dan 1,2 juta dollar AS, hanya divonis 4,5 tahun penjara," katanya.

Dia menilai putusan itu tidak memberikan efek jera bagi koruptor. Tetapi menurut Fadli cenderung permisif terhadap praktik korupsi di Indonesia dan korupsi akan makin trendi.

Jika ingin memberikan efek jera, menurut Fadli, koruptor harus dimiskinkan dengan menyita hartanya seperti dilakukan di hampir semua negara lain. Dia menegaskan jika korupsinya sampai taraf merugikan rakyat secara masif, koruptor bisa dihukum mati.

"Kami mendukung KPK untuk terus berantas korupsi tetapi yang penting jangan tebang pilih dan tanpa pandang bulu. Korupsi telah memiskinkan rakyat Indonesia," katanya.

Partai Golkar Pasif Tampung Parpol Tak Lolos Verifikasi

Posted: 13 Jan 2013 04:43 AM PST

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua DPP Partai Golkar Hajriyanto Y Thohari mengatakan partainya akan bersikap pasif dalam menjaring partai-partai politik yang tidak lolos verifikasi. Meski demikian, Golkar tetap terbuka menampung partai mana pun yang tidak lolos untuk bergabung dengan Golkar.

"Partai Golkar menunggu kalau ada parpol yang tidak lolos dalam verifikasi faktual KPU kemarin itu ingin bergabung dengan Golkar. Tentu posisi Golkar pasif," ujar Hajriyanto, Minggu (13/1/2013), di Jakarta.

Menurut Hajriyanto, sikap pasif ini dilakukan partai Golkar dengan menimbang aspek psikologis partai politik yang gagal lolos sebagai peserta pemilu. "Tidak etis rasanya bersikap aktif di saat ada rasa kekecewaan di antara mereka, makanya Golkar menahan diri," imbuh Wakil Ketua Majelis Pemusyawaratan Rakyat ini.

Hingga kini, Golkar masih menjalin komunikasi dengan partai-partai non peserta pemilu. Jika nantinya bergabung, maka akan ada mekanisme kontrak politik yang dipersiapkan. "Tentu di sana ada hak dan kewajiban di dalamnya bagian dari hak mereka tentu ada konsensi politik," ucapnya.

Selain itu, Hajriyanto mengatakan Golkar juga terbuka menerima calon perseorangan untuk mengisi daftar caleg dari partai berlambang pohon beringin itu. Caleg yang berasal dari luar partai, diakui Hajriyanto, akan diwajibkan mendapat latihan pengkaderan.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menepatkan sepuluh partai politik yang dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu 2014. Kesepuluh partai itu yakni Partai Golkar, PDI-Perjuangan, Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Gerindra, Partai Hanura, dan Partai Nasional Demokrat. Pada hari Senin (14/1/2013) besok, KPU akan melaksanakan acara pengambilan nomor urut bagi parpol.

Vonis Hakim pada Koruptor Belum Berikan Efek Jera

Posted: 13 Jan 2013 04:43 AM PST

JAKARTA, KOMPAS.com -- Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesatyo melihat vonis hakim dalam putusan terdakwa kasus korupsi di dua kementerian, Angelina Sondakh masih belum menimbulkan efek jera bagi para koruptor. Ia pun mendesak agar hakim bisa berani memberikan vonis berat bagi para koruptor.

"Sampai dengan vonis dalam perkara Angelina Sondakh, masyarakat menilai vonis para hakim dalam banyak kasus korupsi, belum menumbuhkan efek jera. Kalau korps hakim terus mengambil peran minimalis seperti sekarang, tidak ada gunanya lagi melanjutkan perang melawan korupsi," ujar Bambang, Minggu (13/1/2013), di Jakarta.

Ia menjelaskan peran korps hakim sangat menentukan dalam pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, korps hakim harus berani memberikan efek jera dalam menjatuhkan vonis pada terdakwa tindak pidana kourpsi.

"Tidak ada yang bisa menumbuhkan efek jera bagi perilaku korup kecuali vonis para hakim," kata Bambang.

"Hanya para hakim yang berwenang menetapkan berat ringannya hukuman bagi terdakwa korupsi, bukan polisi, bukan jaksa dan bukan juga KPK," tambah Bambang.

Ia menuturkan, KPK dan polisi boleh saja menangkap banyak koruptor. Para jaksa boleh saja menuntut hukuman seberat-beratnya kepada terdakwa. Namun, pada akhirnya, para hakim lah yang menjatuhkan vonis hukuman.

"Rakyat menghendaki agar koruptor dihukum seberat-beratnya. Aspirasi rakyat ini hendaknya dihayati juga oleh korps hakim," katanya.

Selain mendasarkan pertimbangannya pada ketentuan hukum, aspirasi rakyat tentang keadilan jangan sampai diabaikan. Wakil Bendahara Umum Golkar itu mengungkapkan sangat penting bagi korps hakim memahami urgensi efek jera terhadap perilaku korup.

VONIS RINGAN

Seperti diberitakan, Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis berupa hukuman empat tahun enam bulan penjara ditambah denda Rp 250 juta subsider kurungan enam bulan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Angelina Sondakh alias Angie. Hakim menilai, Angie terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut dengan menerima pemberian berupa uang senilai total Rp 2,5 miliar dan 1.200.000 dollar Amerika dari Grup Permai.

Selaku anggota DPR sekaligus Badan Anggaran DPR, Angie menyanggupi untuk menggiring anggaran proyek perguruan tinggi di Kementerian Pendidikan Nasional sehingga dapat disesuaikan dengan permintaan Grup Permai.

Putusan ini dibacakan majelis hakim Tipikor yang terdiri dari Sudjatmiko (ketua), Marsudin Nainggolan, Afiantara, Hendra Yosfin, dan Alexander secara bergantian dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (10/1/2013).

"Menyatakan terdakwa Angelina Patricia Pingkan Sondakh terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut sebagaimana diancam dan diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP sebagaimana dakwaan ketiga," kata ketua majalis hakim Sudjatmiko.

Vonis ini jauh lebih ringan dibanding tuntutan jaksa KPK yang meminta agar Angie dihukum 12 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Putusan ini juga tidak mengharuskan Angie membayar kerugian negara sesuai dengan nilai uang yang dikorupsinya sebagaimana yang dituntut oleh jaksa KPK.

Pertengahan Januari, Kejagung Bahas Ekstradisi Djoko Chandra dengan PNG

Posted: 13 Jan 2013 04:11 AM PST

JAKARTA, KOMPAS.com - Kejaksaan Agung masih menunggu upaya pemulangan terpidana kasus Bank Bali sebesar Rp 546 miliar Djoko Tjandra dari Papua Nugini. Pemerintah Indonesia kini tengah membahas soal mekanisme perjanjian pemulangan Djoko. Diharapkan pada pertengahan Januari, draft perjanjian bilateral bisa diterima pemerintah Indonesia.

Hal ini diungkapkan Wakil Jaksa Agung Darmono, Minggu (13/1/2013), di Hotel Bidakara, Jakarta. "Belum diterima draftnya. Persoalan ekstradisi kan kesanggupan pemerintah sana, nanti pertengahan Januari, akan dikirim ke kita. Sampai sekarang saya belum terima," ucap Darmono.

Draft tersebut, lanjutnya, tengah disusun Papua Nugini. Begitu diterima pemerintah Indonesia, maka pembahasan proses pemulangan Djoko Chandra yang diketahui kerap hilir mudik ke negara itu bisa segera direalisasikan.

"Kami akan tanyakan perlu atau tidak pemerintah Papua Nugini datang ke indonesia untuk melakukan pembahasan finalisasi draft itu," imbuhnya.

Seperti diketahui, untuk memulangkan Djoko Tjandra ke Indonesia, pemerintah telah mengirimkan Mutual Legal Assistance (MLA) ke Papua Nugini beberapa bulan lalu. MLA adalah istilah perjanjian bilateral untuk memulangkan, antara lain, aset milik koruptor. Permohonan MLA itu diajukan lantaran Indonesia tidak punya perjanjian ekstradisi dengan Pemerintah Papua Nugini.

Pemerintah Papua Nugini akan mempersiapkan dalam waktu enam bulan, dan kemungkinan bisa lebih cepat. Diharapkan janji ini sudah final sehingga Djoko bisa cepat dideportasi ke Indonesia.

Adapun, Djoko Tjandra alias Tjan Kok Hui merupakan buronan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) pada tingkat kasasi, Djoko dinyatakan bersalah melakukan melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi hukuman pidana penjara selama dua tahun penjara dan denda Rp15 juta.

Barang bukti berupa uang yang ditempatkan pada rekening Bank Bali dinyatakan telah disita oleh negara. Meski dalam perkara tersebut Djoko telah mengantikan kerugian negara, namun status hukum tetap berjalan.

Mahfud MD: Pejabat Kebal Uang, Tapi Tidak Tahan Tawaran Seksual

Posted: 13 Jan 2013 01:51 AM PST

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mendukung penerapan sanksi bagi gratifikasi seksual. Menurutnya, pejabat negara saat ini mulai banyak yang anti terhadap suap dalam bentuk uang. Namun, mereka masih belum tahan akan godaan seksual yang bisa digolongkan sebagai gratifikasi kepuasaan seksual.

"Gratifikasi seksual itu kadang kala lebih dahsyat daripada gratifikasi uang. Banyak orang kebal dengan uang tapi tidak kebal dengan tawaran seksual. Itu banyak sekali," ujar Mahfud, Minggu (13/1/2013), di Hotel Bidakara Jakarta.

Mahfud mengatakan bahwa pada masa Orde Baru lalu sajian seksual kerap disediakan pada setiap perjalanan dinas ke daerah. "Pejabat bisa membuat kebijakan diminta oleh perempuan nakal atau simpanan, banyak laporan ke saya. Ini sebagai fakta," imbuh Mahfud.

Untuk mengatur soal gratifikasi seks, Mahfud melihat perlu ada pertimbangan khusus yang mengaturnya. Pasalnya, gratifikasi dalam bentuk seksual sulit jika harus dikonversikan dalam bentuk numerik.

"Rumusan tindak pidananya susah. Kalau tindak pidana asusila bisa, tapi kan pidananya asusila kecil. Kalau mau ditindak pidana penyuapan ya, penyuapan itu biasanya materiil," ucap Mahfud.

KPK Bahas Gratifikasi Seksual

Sebelumnya diberitakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyusun aturan mengenai pemberian gratifikasi dalam bentuk pelayanan seks. Wakil Ketua KPK Adnan Pandupraja mengatakan, sejauh ini belum ada aturan yang jelas mengenai batasan gratifikasi dalam bentuk pelayanan seksual tersebut.

"Walaupun sebenarnya menurut rekomendasi dari UNCAC terhadap pasal gratifikasi mesti lebih disempurnakan. Ke depan kita akan membuat detail semua agar lebih mudah dipahami," kata Adnan di Jakarta, Selasa (8/1/2013).

Menurut Adnan, beberapa instansi masih ragu apakah pelayanan seks ini dapat digolongkan sebagai jenis gratifikasi atau bukan. Masalahnya, kata Adnan, ada batasan rupiah pada pengertian gratifikasi yang diatur dalam undang-undang.

Direktur Gratifikasi KPK Giri Supradiono menambahkan, pemberian berupa pelayanan seks sebenarnya dapat digolongkan sebagai gratifikasi. Dalam undang-undang, lanjutnya, gratifikasi tidak harus dalam bentuk uang tunai tetapi juga dalam bentuk lain seperti potongan harga ataupun kesenangan.

"Memang pembuktiannya tidak mudah, jadi ini jatuhnya ke case building (pembangunan kerangka kasus) karena itu harus dibuktikan," tambahnya.

Meskipun demikian, lanjut Giri, Indonesia dapat belajar dari Singapura yang mulai menerapkan hukuman untuk pemberian gratifikasi berupa pelayanan seks. Sejauh ini, belum ada kasus gratifikasi seks yang ditangani KPK.

Berdasarkan pemberitaan Kompas, dalam kasus dugaan suap proyek pembangkit listrik tenaga uap dengan tersangka Emir Moies, diduga ada uang yang mengalir untuk pembayaran jasa hiburan khusus laki-laki dewasa di Paris, Perancis.

Sel Angelina Sondakh Digeledah

Posted: 12 Jan 2013 09:27 PM PST

JAKARTA, KOMPAS.com — Kicauan terdakwa kasus suap pembahasan anggaran di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Angelina Sondakh (Angie), berbuntut panjang. Petugas Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur, menggeladah ruang tahanan Angie.

Penggeledahan petugas Rutan Pondok Bambu ini diamini Pengacara Angelina Sondakh, Teuku Nasrullah. Menurut dia, penggeledahan itu menyusul kicauan di Twitter dari akun Angelina Sondakh. "Memang digeledah. Dengan ada berita dia main Twitter, kamarnya digeledah," kata Teuku, Minggu (13/1/2013) seperti dikutip Tribunnews.com.

Saat penggeledahan tersebut, janda Adjie Massaid itu sempat ngotot dan marah-marah kepada petugas tahanan Rutan Pondok Bambu yang melakukan penggeledahan di sel.

"Ibu tahu saya di tahanan seperti apa, gimana saya mau main Twitter. Diacak-acak lagi," kata Nasrullah menirukan sikap Angie kepada petugas rutan.

Namun, petugas rutan khusus tahanan wanita itu, kata Nasrullah, tetap saja melakukan penggeledahan di kamar Angie. Padahal, diakui Angie kepada Nasrullah, Jumat, tersebut dirinya seharian mengaji.

"Petugas rutan cuma bilang dia, kan, menjalankan SOP (standar operasional prosedur). Ya, sudah, jangan dibesar-besarkan lagi," ujarnya.

Soal Twitter Angie, Nasrullah enggan berkomentar banyak. Sebab, hal itu akan menjadi polemik. "Apalagi sampai muncul di media. Angie, kan, punya anak-anak yang bisa baca koran atau media lainnya," katanya.

Nasrullah menyatakan, akun Twitter kliennya @SondakhAngelina telah dibajak orang yang tidak bertanggung jawab. Nasrullah memastikan, kliennya itu tidak nge-tweet selama berada dalam Rumah Tahanan Pondok Bambu. "Saya konfirmasi ke pihak keluarganya, Twitter itu dibajak. Tidak mungkin Angie nge-tweet. Sejak pagi dia tengah ikut pengajian di rutan. Kepala rutan bisa menjelaskan," ucapnya.

Menurut Nasrullah, selama ini akun Twitter kliennya itu dikelola pihak keluarga. Dia sudah memastikan tidak ada pihak keluarga yang berkicau di Twitter, apalagi menyebut-nyebut nama Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.  "Jadi ada yang jahat sekali, Twitter Angie dibajak kemudian digunakan," katanya.

Angie mendekam di Rutan Pondok Bambu karena menjadi pesakitan dalam kasus penerimaan suap kepengurusan anggaran di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kamis (10/1/2013) kemarin, Angie dijatuhi hukuman empat tahun enam bulan penjara ditambah denda Rp 250 juta subsider kurungan enam bulan.

Sehari setelah vonis, akun Twitter @SondakhAngelina tampak aktif nge-tweet setelah tidak lagi "berkicau" sejak 7 April 2012. Akun itu berkata
"Ini semua hanya permainan politik dan yang berperan penting semua adalah pejabat tinggi partai, saya tetap sabar dan terus bedoa".

Sebelumnya, kicauan akun tersebut sempat menyebut-nyebut nama Anas Urbaningrum. Tetapi, beberapa waktu kemudian, akun yang mengandung nama Anas itu dihapus.

Berbeda dengan Nasrullah, Lucky Sondakh, ayah Angie, lebih mau terbuka kepada awak media. Lucky mengakui, Angie tetap menjalin komunikasi dengan dirinya. Bahkan, dari dalam jeruji besi, janda mendiang Adjie Massaid ini masih bisa curhat dengan sang Ayah.

Demikian diakui Lucky saat hadir di persidangan Angie dengan agenda pembacaan vonis majelis hakim di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (10/1/2013). Bahkan, jelang vonis, Angie, kata Lucky, sempat curhat yang disinyalir melalui telepon genggam.

Untuk hari ini saja, sambung Lucky ketika itu, Angie menghubungi dirinya. Meskipun sebelum hadir di pengadilan tipikor, Lukcy mengaku sempat mengunjungi Angie di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur.

"Ini SMS-nya tiap hari ada," kata Lucky. Bahkan, Lukcy sempat hendak meyakinkan hal tersebut dengan ingin menunjukan percakapan Angie dengan dirinya melalui telepon genggam miliknya. "Tadi pagi, ya, dua (lewat BBM dan SMS)," ujar Lucky Kamis lalu seperti dikutip Tribunnes.com.

Untuk pesan yang diberikan sang Ayah, Lukcy mengaku memberikan dukungan moral. "Saya bilang, live must go on," katanya.

Berita lainnya, baca di: Vonis Angelina Sondakh

Editor :

Egidius Patnistik

No comments:

Post a Comment