KOMPAS.com - Nasional

KOMPAS.com - Nasional


Jika PDI-P Tak Usung Jokowi, Peluang untuk Partai Lain

Posted: 14 Sep 2013 08:37 AM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com – Wakil Bendahara Umum DPP Partai Golkar Bambang Soesatyo menyadari tingginya elektabilitas kader Partai Demokrasi (PDI) Perjuangan, yang kini menjabat Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi dalam sejumlah survei calon presiden (capres) Pemilu 2014. Bambang pun mengingatkan PDI Perjuangan. Jika PDI Perjuangan enggan mengusung Jokowi sebagai capres, menurutnya, menjadi peluang bagi partai lain untuk memenangi Pemilihan Presiden 2014.

"Kalau PDI Perjuangan tidak mengusung Jokowi, baik sebagai capres atau cawapres (calon wakil presiden) maka peluang untuk partai lain," kata Bambang, dalam diskusi "Memilih Capres Secara Rasional" di Jakarta, Sabtu (14/9/2013).

Menurutnya, dalam pesta demokrasi 2014, Jokowi merupakan tokoh yang menjadi rebutan banyak partai. Akan tetapi, katanya, elektabilitas Jokowi sangat tergantung pada keberhasilannya menyelesaikan permasalahan di Ibu Kota. Bambang menambahkan, tidak tertutup kemungkinan, ada peristiwa yang akan menjegal Jokowi.

"Bukan tidak mungkin ada pukulan terhadap Jokowi. Apa yang terjadi, jika pedagang di Tanah Abang memberontak," kata dia.

Dalam kesempatan yang sama, pengamat politik dari Lembaga Pemilih Indonesia, Boni Hargens mengatakan, keberhasilan Jokowi dalam memimpin Jakarta memang belum terbukti pada 2014 nanti. Namun, kata dia, Jokowi memiliki potensi besar sebagai pemimpin. Potensi itu, menurut Boni, adalah hal yang paling diinginkan publik dari presiden, yaitu kesederhanaan, pro rakyat dan kemauan bekerja.

"Yang bisa kita lihat dari Jokowi adalah potensi. Kesederhaaan, kerja keras, pro rakyat. Itu potensi besar yang akan terus berkembang dan membesar. Dia jadi antitesis dari realitas," papar Boni.

Editor : Inggried Dwi Wedhaswary

Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:

Tanpa Jokowi, 2014 Bukan Pemilu

Posted: 14 Sep 2013 08:12 AM PDT


JAKARTA,KOMPAS.com – Pengamat politik Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens menilai, tidak ada tokoh dan politisi yang dapat menandingi popularitas dan elektabilitas Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi.

Dia menyatakan, tanpa Jokowi sebagai peserta Pemilu Presiden (Pilpres) 2014, perhelatan demokrasi itu tidak dapat disebut pemilu. "2014 tanpa Jokowi, bukan pemilu," ujar dalam diskusi bertajuk "Memilih Capres Secara Rasional" di Jakarta, Sabtu (14/9/2013).

Ia mengatakan, jika Jokowi atau PDI P sudah mendeklarasikan pencapresan mantan Wali Kota Surakarta itu, maka keriuhan politik Indonesia hanya pada pusaran pencarian calon wakil presiden (cawapres) yang akan mendampingi Jokowi.

Dia menilai, Jokowi paling tepat dijagokan menjadi capres. "Karena tidak ada yang bisa menandingi Jokowi," tutur Boni.

Dia bahkan mengilustrasikan, panggung politik Indonesia 2014 bak pertunjukan musik. Dalam pertunjukan tersebut, menurutnya, Jokowi memegang peran sentral sebagai vokalis yang paling mendapat perhatian publik. "Jadi kita hanya perlu mencari penyanyi latar. Yang lain-lain, peserta konvensi itu menjadi penari latarnya," seloroh Boni yang langsung disambut riuh suara peserta diskusi.

Ia mengatakan, tingginya keterpilihan Jokowi didorong kejenuhan publik pada kekuasaan lama yang merupakan cermin kelompok elit. Dia menilai, Jokowi merupakan pemimpin yang muncul dari akar rumput. Sedangkan, capres dan politisi lain, kata dia, merupakan pemimpin yang datang dari kelompok atas.

"Jokowi muncul sebagai indikasi matinya elitisme dalam politik. Kematian elitisme karena sinisme publik terhadap kekuasaan lama," tuturnya.

Mengingat besarnya antusiasme publik pada Jokowi, Boni menyarankan, PDI P segera mengumumkan pencapresan Jokowi. Menurutnya, tidak pantas lagi PDI P memunculkan wajah lama dalam pertandingan politik 2014 nanti.

Editor : Erlangga Djumena

IPW: Polri Tak Efektif Kelola Anggaran

Posted: 14 Sep 2013 07:00 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com -  Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menilai, keluhan Polri mengenai minimnya anggaran belanja yang dialokasikan pemerintah di dalam APBN tidak logis. Pasalnya, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir anggaran belanja Polri selalu mengalami peningkatan, bahkan lebih tinggi daripada peningkatan anggaran yang diperoleh TNI.

Neta mengatakan, tak hanya jumlah anggaran belanja yang ditingkatkan, Polri juga sudah mendapat remunerasi gaji. Artinya, dari sisi kesejahteraannya telah meningkat. "Sejak sepuluh tahun terakhir, anggaran Polri naik 1.000 persen, bandingkan dengan TNI yang hanya naik 450 persen," kata dia dalam pesan singkatnya kepada Kompas.com, Sabtu (14/9/2013).

Ia justru menuding, sistim budgeting Polri tidak efisien. Hal itu dilihat dari banyaknya sejumlah proyek pengadaan bernilai miliaran namun minim manfaat, seperti proyek Police Blackborn, proyek Alkom Jarkom, sejumlah proyek pengadaan alat teknologi informasi hingga proyek pengadaan alat simulator Surat Izin Mengemudi (SIM).

"Banyak sekali proyek-proyek pengadaan yang dibuat dan barangnya tidak terpakai dan akhirnya mubazir. Kalau dalam hal anggaran Polri dikatakan tidak dipedulikan, ini (justru) menjadi aneh," tegasnya.

"Pertanyaannya kemudian, setelah dalam tahun terakhir ada kenaikan anggaran, apakah sikap, perilaku, dan kinerja polisi naik 1000 persen, apakah keluhan publik terhadap polisi berkurang?" tandasnya.

Sebelumnya, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Ronny Sompie berdalih, minimnya anggaran menjadi salah satu faktor yang melatari maraknya penembakan.

Ronny mengeluhkan, selama ini anggota kepolisian tidak dilengkapi dengan senjata yang memadai. Selain itu, polisi juga tidak diberikan kendaraan operasional yang memadai. Belum lagi rendahnya jaminan asuransi bagi kepolisian jika gugur dalam tugas. 

"Pemberdayaan Polri setengah-setengah. Bahkan, saya bisa mengatakan, kami kurang dipedulikan. Sekarang kita semua kaget. Jangan diminta amankan masyarakat, tapi pemberdayaannya kurang," ujar Ronny dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (14/9/2013).

Editor : Erlangga Djumena

Kalau Jokowi \"Nyapres\", Bagaimana Nasib Jakarta?

Posted: 14 Sep 2013 06:58 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com - Popularitas Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo melejit setelah sejumlah survei menempatkannya sebagai kandidat calon presiden dengan tingkat keterpilihan paling tinggi. Joko Widodo alias Jokowi bahkan berhasil mengungguli elektabilitas para seniornya di panggung politik seperti Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, dan Prabowo Subianto. Bagaimana nasib Ibu Kota jika politisi PDI Perjuangan itu benar-benar diusung sebagai capres pada Pemilihan Presiden 2014?

Yang pasti, jika Jokowi maju sebagai capres, maka, wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama akan naik menjadi DKI-1. Pengamat politik Alfan Alfian mengatakan, sosok Basuki yang kontroversial dengan gayanya yang ceplas-ceplos diprediksi akan menimbulkan permasalahan baru. Menurutnya, reaksi yang muncul bisa saja berupa aksi unjuk rasa. 

"Akan banyak protes," kata Alfan, seperti dikutip Tribunnews.com, Sabtu (14/9/2013).

Menurut Alfan, secara kepemimpinan, Basuki termasuk baik. Tetapi, politisi Gerindra itu, menurutnya, harus memperbaiki pola komunikasinya yang terkesan tempramental dan berpotensi menimbulkan kesalahpahaman. 

"Ini bukan soal Pak Ahok minoritas. Soal gaya berkomunikasi saja yang tampaknya perlu diubah," kata Alfan.

Alfan sendiri berpendapat, idealnya, duet Jokowi-Basuki maju dalam Pilpres 2014. Akan tetapi, jika itu terjadi, tentunya akan ada kekosongan kepemimpinan di Ibu Kota. Selain itu, biaya politik yang ditimbulkan sangat tinggi.

"Terutama cost untuk pilkada ulang. Kalau Jokowi maju capres, maka mungkin sebaiknya Ahok yang meneruskan kepemimpinan DKI yang semakin kompleks ini. Tantangan Ahok tentu semakin berat kalau ditinggal Jokowi," papar Alfan.

Tak hanya soal biaya politik. Dari sisi etika politik, menurutnya, pasangan Jokowi-Basuki akan dinilai sebagai sosok yang mementingkan kekuasaan karena meninggalkan jabatan sebelum masa bakti berakhir.

Sementara itu, pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Gun Gun Heryanto menilai, bila Jokowi "nyapres", maka kondisi Jakarta akan berbeda di bawah kepemimpinan Basuki. Ia meminta agar publik tidak menaruh curiga secara berlebihan atas sikap Basuki yang dikenal ceplas-ceplos.

"Kritisme boleh dilakukan, tapi juga jangan curiga serampangan. Karena, bagaimanapun, inilah konsekuensi atas setiap pilihan dalam demokrasi elektoral yang harus dihormati," kata Gun Gun.

Editor : Inggried Dwi Wedhaswary

Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:

Perampokan Emas di Medan Terkait Buron Teroris LP Tanjung Gusta?

Posted: 14 Sep 2013 06:40 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com – Kepolisian masih mendalamai kasus perampokan sebuah toko emas di Medan pada Jumat (14/9/2013) kemarin. Barang bukti berupa rekaman CCTV menjadi petunjuk untuk mengungkap identitas pelaku. Diduga, pelaku yang menyatroni toko emas pada siang hari itu adalah komplotan teroris pimpinan Fadli Sadama, narapidana Lapas Tanjung Gusta Medan yang saat ini buron.

"Keterkaitan dengan itu masih kami dalami. Kalau memang jejak-jejak hasil olah TKP bisa ditemukan dan penelitian CCTV bisa menghasilkan gambar-gambar dari para pelaku, maka kami bisa lebih mudah mengungkapnya," ujar Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Ronny Franky Sompie, di Jakarta, Sabtu (14/9/2013).

Ronny juga enggan berspekulasi dengan kemiripan modus yang dilakukan para pelaku dengan kejadian perampokan di Tambora, Jakarta Barta dan perampokan bank CIMB Niaga yang melibatkan kelompok Fadli.

"Kami belum tahu apa motifnya, dan apakah mereka satu kelompok atau tidak. Yang jelas, polisi terus berjuang. Kami tidak bisa beranda-andai," ujarnya.

Enam perampok bersenjata api beraksi merampok Toko Mas Suranta, Jalan Pertempuran, Medan, Jumat siang (13/9/2013). Pelaku langsung menembak lemari etalase berisi emas. Enam perampok berdasarkan rekaman CCTV membagi perannya.

Dua orang berjaga di luar dan empat masuk ke dalam sambil memakai helm. Steling (etalase) langsung ditembak dan semua pekerja langsung menunduk. Berdasarkan rekaman CCTV toko emas yang berada dekat jembatan layang Pulobrayan ini, kejadian berlangsung singkat. Hanya 3 menit 15 detik. Namun, empat perampok di dalam toko berhasil menggasak semua logam mulia yang terpajang di dua etalase. Diperkirakan emas yang digondol berjumlah 5 kilogram.

Editor : Inggried Dwi Wedhaswary

Jadi Target Penembakan, Polri Tak Pernah Takut

Posted: 14 Sep 2013 06:06 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Ronny Sompie menampik anggapan yang menyebutkan bahwa Polri dirundung kekhawatiran setelah serangkaian peristiwa penembakan terhadap anggotanya.  Ronny menegaskan, aparat kepolisian tak pernah takut karena telah dilatih militansinya.

"Saya tegaskan, anggota itu tidak takut. Saya kasih contoh, Aipda Sukardi. Sampai maut menjemput di perjalanannya, dia jalan terus, tidak takut. Jadi jangan kami diasumsikan takut," ujar Ronny di Jakarta, Sabtu (14/9/2013).

Ia mengatakan, penembakan yang terjadi pada Aipda Sukardi jangan dilihat dari segi negatifnya. Ronny mengakui, Aipda Sukardi telah menyalahi standar operasi yang ada dengan melakukan pengawasan seorang diri. Namun, Ronny mengatakan, Aipda Sukardi hanya berusaha membantu masyarakat yang meminta pengawalan.

"Kalau dia takut, dia tidak akan pakai baju polisi sampai akhir ajalnya. Kami sudah dilatih, latihan militansinya itu ada. Artinya, tugas melakukan pengawalan terhadap masyarakat yang membutuhkan itu dibenarkan," katanya.

Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar menyayangkan tidak adanya antisipasi serius dari aparat kepolisian atas kasus penembakan yang terjadi belakangan ini. Menurut Bambang, seharusnya polisi bisa menurunkan pasukan Brimob yang lebih banyak ke sejumlah titik untuk mempersempit ruang gerak pelaku.

Penembakan yang menewaskan Bripka Sukardi, Selasa (10/9/2013), menambah deretan korban penembakan polisi oleh orang tak dikenal dalam dua bulan terakhir.

Dengan kematian Sukardi, empat polisi tewas dan satu polisi yang lain terluka. Selain Sukardi, polisi yang tewas ditembak oleh orang tak dikenal di sekitar Jakarta selama dua bulan ini adalah Aiptu Dwiyatno, Aiptu Kushendratna, dan Bripka Ahmad Maulana. Aiptu Dwiyatno ditembak oleh orang tak dikenal pada 7 Agustus 2013 di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.

Selang sepekan, tepatnya satu hari sebelum perayaan Hari Kemerdekaan RI, 16 Agustus 2013,  Aiptu Kushendratna dan Bripka Ahmad Maulana tewas ditembak di Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten.

Sementara, Aipda Patah Saktiyono, seorang anggota polisi yang juga mengalami penembakan, selamat. Penembakan terjadi pada 27 Juli lalu di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. Patah adalah anggota Satuan Lalu Lintas Polsek Metro Gambir, Jakarta Pusat.

Editor : Inggried Dwi Wedhaswary

Manajemen Pengawasan Senjata Masih Lemah

Posted: 14 Sep 2013 05:22 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) M Nasser mengatakan, sistem manajemen pengawasan peredaran senjata api yang dilakukan Polri masih lemah. Tak heran, katanya, jika dalam beberapa bulan terakhir terjadi aksi penembakan terhadap anggota kepolisian.

"Inti masalah, maraknya penembakan terhadap polisi adalah lemahnya pengawasan peredaran senjata di masyarakat," kata Nasser kepada Kompas.com, Sabtu (14/9/2013).

Dalam beberapa kasus penembakan terhadap polisi, menurutnya, Polri baru sebatas mengungkap jenis peluru yang digunakan pelaku. Namun, untuk jenis senjata serta laras yang digunakan, apakah senjata api organik atau rakitan, belum berhasil diidentifikasi Polri.

"Artinya, sebenarnya banyak senjata yang masuk ke negara kita, entah itu selundupan, pabrikan atau rakitan," katanya.

Kompolnas, kata Nasser, mendesak Polri untuk meningkatkan pengawasan terhadap peredaran senjata api di masyarakat. Tidak cukup hanya dengan razia senjata api rutin, tetapi juga pengawasan terhadap perbatasan wilayah.

Penembakan yang menewaskan Bripka Sukardi, Selasa (10/9/2013), menambah deretan korban penembakan polisi oleh orang tak dikenal dalam dua bulan terakhir.

Dengan kematian Sukardi, empat polisi tewas dan satu polisi yang lain terluka. Selain Sukardi, polisi yang tewas ditembak oleh orang tak dikenal di sekitar Jakarta selama dua bulan ini adalah Aiptu Dwiyatno, Aiptu Kushendratna, dan Bripka Ahmad Maulana. Aiptu Dwiyatno ditembak oleh orang tak dikenal pada 7 Agustus 2013 di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.

Selang sepekan, tepatnya satu hari sebelum perayaan Hari Kemerdekaan RI, 16 Agustus 2013,  Aiptu Kushendratna dan Bripka Ahmad Maulana tewas ditembak di Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten.

Sementara, Aipda Patah Saktiyono, seorang anggota polisi yang juga mengalami penembakan, selamat. Penembakan terjadi pada 27 Juli lalu di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. Patah adalah anggota Satuan Lalu Lintas Polsek Metro Gambir, Jakarta Pusat.

Editor : Inggried Dwi Wedhaswary

Kompolnas: Jangan Kambinghitamkan Minimnya Anggaran dengan Penembakan

Posted: 14 Sep 2013 05:01 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menilai, alasan Polri yang menyalahkan minimnya anggaran dana yang dimiliki menjadi penyebab maraknya kasus penembakan tidak tepat. Polri seharusnya lebih meningkatkan profesionalismenya daripada sekedar meributkan persoalan terbatasnya anggaran yang ada.

"Saat ini bukan saatnya untuk mengkambinghitamkan persoalan anggaran dengan kasus penembakan. Saya kira kurang tepat ya," kata anggota Kompolnas M Nasser kepada Kompas.com, Sabtu (14/9/2013).

Nasser mengatakan, deteksi dini untuk mengantisipasi ancaman teror baik terhadap polisi maupun masyarakat, menjadi hal terpenting untuk ditingkatkan Polri. Untuk itu, menurutnya, peningkatan kemampuan personal anggota dan kerjasama antar instansi terkait perlu ditingkatkan.

Meski begitu, ia tidak menampik, jika porsi anggaran belanja Polri di APBN yang di bawah 3 persen, masih relatif kecil. Bahkan, jika dibandingkan dengan anggaran belanja TNI, kesehatan dan pendidikan.

"Jangankan dengan negara maju, dengan negara di ASEAN pun kita kalah. Anggaran untuk kepolisian disana di atas tiga persen," ujarnya.

Sebelumnya, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Ronny Sompie menyebutkan, minimnya anggaran menjadi salah satu faktor yang melatari maraknya penembakan. Ronny mengeluhkan, selama ini anggota kepolisian tidak dilengkapi dengan senjata yang memadai.

Selain itu, polisi juga tidak diberikan kendaraan operasional yang memadai. Belum lagi rendahnya jaminan asuransi bagi kepolisian jika gugur dalam tugas.  "Pemberdayaan Polri setengah-setengah. Bahkan, saya bisa mengatakan, kami kurang dipedulikan. Sekarang kita semua kaget. Jangan diminta amankan masyarakat, tapi pemberdayaannya kurang," ujar Ronny dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (14/9/2013).

Editor : Erlangga Djumena

No comments:

Post a Comment