KOMPAStekno

KOMPAStekno


Semangat Kolaborasi di Tepi Margonda

Posted: 26 Sep 2013 06:59 AM PDT

Oleh: Wicak Hidayat*

KOMPAS.com - Kolaborasi jadi kata kunci yang banyak didengung-dengungkan pegiat bisnis digital. Salah satunya terwujud melalui ruang kerja bersama alias coworking space.

Di Depok, semangat kolaborasi dan berbagi itu diwujudkan melalui coworking space bernama Code Margonda.

"Kami terinspirasi dari model yang dilakukan di berbagai negara, seperti di Inggris atau Amerika Serikat," ujar Didi Diarsa, salah satu inisiator Code Margonda, dalam pertemuan Depok Connection #6 (DepCon #6) yang diadakan DepokDigital, Rabu (25/9/2013), di lokasi tersebut.

Di beberapa negara, coworking space memang menjadi hal yang lazim. Di Indonesia pun skema semacam ini bukan hal asing. Tengok saja Comma ID di Jakarta ataupun Hackerspace yang digagas Fowab di Bandung.

Kumpul-Kumpul Kerja

Coworking space tumbuh dari keinginan kelas pekerja, terutama mereka yang aktif menggunakan teknologi digital, untuk lebih fleksibel dalam bekerja.

Boleh dikatakan coworking space adalah semacam jalan tengah antara keinginan untuk bekerja dari rumah dan kewajiban bekerja di kantor. Skema semacam ini juga jadi alternatif dibandingkan harus bekerja dari kafe atau restoran yang bisa jadi cukup menguras isi dompet.

Seperti kata Brad Neuberg, pria yang kerap disebut sebagai pelopor coworking space: "Seakan-akan pilihannya adalah memiliki pekerjaan, yang akan memberi saya struktur dan komunitas, atau menjadi pekerja lepas dan memiliki kebebasan dan kemerdekaan. Kenapa tidak dua-duanya?" ujar Neuberg dalam sebuah tulisan di The New York Times.

Neuberg telah membuka jalan untuk coworking space pada 2005. Saat ini, sekitar 8 tahun kemudian, coworking space tumbuh subur di banyak negara.

Di Eropa, misalnya, Inggris sering disebut sebagai negara yang paling getol mengadopsi coworking space. Beberapa coworking space di Inggris pun didukung oleh pemerintah setempat, selain ada juga yang didukung oleh perusahaan seperti Google.

Coworking space di seluruh dunia tidak memiliki format yang seragam. Ada yang murni tempat bekerja, ada yang sekaligus bisa digunakan untuk tinggal/bermalam ada juga yang memiliki fasilitas mentoring dengan dukungan dari korporasi besar.

Menurut Didi, di Inggris coworking space banyak tumbuh di seputar industri kreatif. Sedangkan di Finlandia, tradisi manufaktur yang kuat menghadirkan coworking space yang terintegrasi dengan bengkel.

Namun, satu semangat yang sama dari coworking space adalah kumpul-kumpul sambil kerja. Dan dari kumpul-kumpul itu, banyak hal bisa terjadi.

Depok Merdeka

Code Margonda merupakan lokasi coworking pertama di Depok, Jawa Barat, sebuah kota satelit yang kebanyakan warganya bekerja di Jakarta.

Namun Jakarta, meski banyak membawa angin surga, juga merupakan neraka bagi kaum pekerja tersebut. Terutama neraka yang bernama kemacetan.

Jalan menuju Jakarta dari Depok terbatas pada beberapa akses yang super padat, yang praktis terkonsentrasi di Margonda Raya.

Jalan utama Kota Depok ini bagaikan urat nadi yang kelelahan, ukurannya yang semakin hari seakan bertambah lebar itu membuat jalan yang pernah "hijau" ini nampak gersang dan tak bersahabat.

Kemacetan yang menyambut pengguna jalan, jadi hidangan pembuka sebelum menghadapi kemacetan yang lebih parah lagi di Jakarta. Atau, hidangan penutup di malam hari.

Sebagian warga Depok pun bertanya-tanya: apakah tidak memungkinkan untuk membangun pusat ekonomi sendiri di Depok? Sehingga warganya tak harus melulu lari ke Jakarta di siang hari?

Apalagi, di Depok terdapat kampus seperti Universitas Indonesia dan Universitas Gunadarma yang seharusnya melahirkan lulusan yang mumpuni. Mengapa mereka harus meninggalkan Depok untuk bekerja?

Maka muncul semangat untuk membangun semacam 'kemerdekaan' bagi Depok. Untuk bisa berdiri sebagai kekuatan yang diperhitungkan, selain sebagai tempat pulangnya para pekerja.

Semangat semacam itu yang kemudian mendorong banyak perusahaan berdiri di Depok. Termasuk perusahaan rintisan digital, yang populer disebut startup.

Beberapa studio pengembang peranti lunak hadir di Depok dengan kiprah yang tak bisa diremehkan. Sebut saja Studio Independent, Badr Interactive atau Tanoshii Creative Studio.

Banyak juga yang bergerak di bidang web development, digital marketing dan bisnis digital lainnya. Atau, ada juga yang bisnis utamanya adalah produk non-digital, tapi aktif memanfaatkan teknologi untuk mendukung bisnisnya.

Kolaborasi Komunitas

Code Margonda diinisiasi oleh perusahaan rintisan semacam itu. Mereka adalah Duet Tommy Herdiansyah dan Febrian Shandy Rifano dari Dynamic Nusantara Digital (DND) serta Didi Diarsa dari Furniture Aktif.

"Code Margonda didirikan bukan hanya sebagai tempat bekerja. Tempat ini adalah milik komunitas, yang selama ini kesulitan saat ingin menggelar acara di Depok," ujar Tommy, dalam DepCon #6.

Malam itu, DepCon menghadirkan belasan orang anggota komunitas untuk berdiskusi mengenai kolaborasi dan coworking space.

Tidak seperti kegiatan mereka sebelumnya, yang kerap terbentur lokasi dan biaya, kegiatan yang bermaksud menghubungkan pelaku digital di Depok (dan luar Depok) itu bisa langsung digelar di Code Margonda tanpa birokrasi yang rumit.

Pekan sebelumnya, komunitas Depok Mobi juga menggelar kegiatan di tempat yang sama. Sederet kegiatan komunitas lainnya juga sudah tercantum di kalender Code Margonda.

Dan, seperti janji pendirinya, komunitas pun seakan jadi pemilik bagi lokasi ini. Penggiat Depok Berkebun, misalnya, berencana menjalankan eksperimen urban farming di rooftop Code Margonda.

"Adalah komunitas juga yang akan membuat tempat ini hidup," tutur Tommy.

Kejutan yang Menyenangkan

Di acara yang sama, Didi Diarsa mengatakan Code Margonda berharap bisa menggaet cukup banyak pihak untuk berkolaborasi di lokasi ini.

"Lewat kolaborasi yang terjalin, hanya melalui kerja bareng sehari-hari, karena bertemu setiap hari, hal yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin," tutur Didi.

Coworking space memang umumnya memiliki semangat seperti itu. Berbagai pihak dengan berbagai keahlian hadir di satu tempat yang sama untuk melakukan pekerjaan masing-masing.

Namun dari interaksi yang casual antar mereka, muncul kemungkinan kolaborasi yang mungkin tak akan tercapai jika jalur yang diambil adalah jalur formal.

Sebuah kata yang tepat untuk menggambarkannya adalah: serendipity. Kata yang diartikan sebagai "happy accident" atau "pleasant surprise".

Memang, masih banyak tantangan yang harus dihadapi agar hal itu bisa terjadi dan langgeng. Didi mengatakan, skema penggunaan Code Margonda masih dirumuskan. Beberapa idenya termasuk mendirikan bentuk Koperasi.

"Dengan sistem koperasi, yang termasuk iuran rutin misalnya, bukan tidak mungkin dalam waktu dua tahun Code Margonda bisa memiliki fasilitas yang lebih baik," ujar pria yang aktif di organisasi Tangan di Atas (TDA) ini.

Satu hal yang pasti, Code Margonda tampak sangat terbuka pada kolaborasi dan kegiatan komunitas. Setidaknya, komunitas di Depok tidak perlu pusing lagi saat ingin menggelar kegiatan.

Code Margonda berlokasi tepat di tepian Margonda, dekat dua pusat perbelanjaan utama di Depok, dengan akses terjangkau ke stasiun KRL Jabodetabek maupun jalan tol Jagorawi.

Dari lokasi coworking space di lantai 3, mereka yang kumpul sambil bekerja di Code Margonda bisa menikmati pemandangan lalu-lintas Margonda yang ramai. Mungkin, sambil berpikir, kenapa harus capek-capek ke Jakarta kalau hanya untuk bekerja?

Tentang Penulis: Wicak Hidayat adalah Editor KompasTekno dan merupakan salah satu pendiri DepokDigital. Tulisan ini merupakan opini pribadinya. Penulis bisa dihubungi lewat akun twitter @wicakhidayat.

Akuisisi Axis, Apa yang Dicari XL?

Posted: 26 Sep 2013 04:38 AM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com - XL Axiata sepakat untuk mengakuisisi Axis Telekom Indonesia, Kamis (26/9/2013). Namun, akuisisi belum selesai karena kedua belah pihak menunggu persetujuan dari pemerintah, dan XL juga meminta tak ada perubahan pada kepemilikan spektrum frekuensi.

Spektrum frekuensi merupakan salah satu aset berharga yang dimiliki Axis. XL, tentu sangat menginginkan frekuensi tersebut untuk menambah kapasitas dan meningkatkan kualitas layanan.

Di spektrum frekuensi 1.800MHz, Axis memiliki alokasi 15MHz, sementara di 2.100MHz memiliki alokasi 10MHz.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000, disebutkan bahwa pemegang alokasi frekuensi tidak dapat mengalihkan frekuensi yang diperoleh kepada pihak lain. Namun, hal ini dimungkinkan jika ada izin dari Menteri Komunikasi dan Informatika.

Pemerhati dan peneliti telekomunikasi dari Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi berpendapat, selama ini aksi akuisisi atau merger yang dilakukan perusahaan telekomunikasi di Indonesia, tidak pernah mengembalikan alokasi frekuensi yang diperoleh.

"Tapi harus ada persetujuan dari Menteri. Dan saya pikir Menteri sebaiknya memberi izin kepada XL untuk mendapatkan frekuensi Axis," ujarnya saat dihubungi KompasTekno.

Ia memberi contoh, saat Indosat mengakuisisi Satelindo pada 2003, Indosat mendapatkan sumber daya, penomoran, hingga frekuensi Satelindo. Begitu juga dengan Bakrie Telecom yang pada 2012 lalu mengakuisisi Sampoerna Telekom Indonesia.

Aksi merger dan akuisisi antar operator seluler, menurut Heru, perlu didukung untuk mengurangi jumlahnya yang begitu banyak. "Pemerintah harus memberi insentif, tapi bukan berupa uang, melainkan kemudahan untuk proses merger dan akuisisi di antara operator telekomunikasi," tambahnya.

Dalam sebuah diskusi, Dirjen Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika, Kemenkominfo, Muhammad Budi Setiawan pernah mengakui, bahwa jumlah operator seluler di Indonesia sudah terlalu banyak dan dapat menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat. Jumlah yang ideal menurutnya adalah 4 sampai 5 perusahaan saja.

"Jika jumlah operator seluler terlalu banyak, maka sumber daya frekuensi menjadi terbatas. Inilah yang menjadi masalah telekomunikasi di Indonesia," kata Setyanto P. Santosa, Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) di acara Innovation Qualcomm.

Saat ini, ada tiga operator seluler yang terbilang sangat membutuhkan frekuensi tambahan untuk memenuhi kebutuhan bandwidth dan pelanggan, yakni Telkomsel, Indosat, dan XL.

Untuk mengakuisisi Axis, XL telah menandatangani perjanjian jual beli bersyarat (Conditional Sales Purchase Agreement/CSPA) dengan Saudi Telecom Company (STC) dan Teleglobal Investment B.V. (Teleglobal), yang merupakan anak perusahaan STC.

Dalam kesepatakan akuisisi, Teleglobal akan menjual 95% saham di Axis kepada XL. 100 persen nilai perusahaan Axis dinilai sebesar USD 865 juta, dengan catatan buku Axis bersih dari utang dan posisi kas nol (cash free and debt free). Harga Pembayaran akan digunakan untuk  membayar nilai nominal saham Axis, serta membayar hutang dan kewajiban AXIS

Dalam siaran pers, Presiden Direktur XL Hasnul Suhaimi mengatakan, konsolidasi harus terjadi dalam industri telekomunikasi. "Aksi korporasi ini diharapkan dapat mendorong konsolidasi yang akan mendukung pertumbuhan industri telekomunikasi di Indonesia yang lebih sehat secara jangka panjang," tutur Hasnul.

Merril Lynch (Singapore) Pte. Ltd. (Bank of America Merril Lynch) bertindak sebagai penasehat keuangan dari XL untuk transaksi ini.

Tingkat Adopsi iOS 7 Lewati 50 Persen

Posted: 26 Sep 2013 03:25 AM PDT

KOMPAS.com - Pengguna perangkat iOS tampaknya memiliki minat yang sangat tinggi terhadap sistem operasi mobile terbaru, iOS 7. Hal tersebut tampak dari tingginya tingkat adopsi atau banyaknya perangkat yang sudah menggunakan sistem operasi ini.

Berdasarkan perusahaan jaringan periklanan online Chitika dari pertama kali iOS 7 dirilis pada 18 September hingga 25 September 2013, angka adopsi iOS 7 telah menyentuh sekitar 52 persen di wilayah Amerika Utara. Data tersebut didapatkan dari perangkat iOS yang mengakses jaringan periklanan milik Chitika.

Dari gambar di bawah ini, seperti dikutip dari Ubergizmo, Kamis (26/9/2013), tingkat adopsi iOS 7 dalam 1 minggu kehadiran pertamanya terlihat meningkat secara stabil. Tingkat adopsi iOS 7 juga tampak lebih cepat dari iOS 6.

Sayangnya, Chitika tidak mencantumkan tingkat adopsi secara global. Namun, beberapa hari lalu, Apple mengumumkan bahwa sistem operasi yang menawarkan desain ulang dari segi tampilan ini sudah diunduh sebanyak lebih dari 200 juta kali.

Tidak seperti pengguna Android, perangkat iOS, yang sesuai persyaratan dari Apple, bisa langsung mengunduh dan menginstalasi sistem operasi terbaru tanpa harus menunggu lama.

Perlu diketahui, perangkat Android biasanya harus menunggu untuk memperbarui sistem operasi. Ini dapat terjadi karena biasanya pihak vendor harus melakukan modifikasi dan pengujian terlebih dahulu sebelum mengunggah sistem operasi baru ini. Proses ini lazim memakan waktu lama.

"Sang Naga" Jadi "Otak" di Seribu Gadget

Posted: 26 Sep 2013 02:52 AM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com - Qualcomm saat ini sedang menikmati puncak kejayaan karena mereka menguasai pangsa pasar global prosesor yang dipakai pada perangkat mobile.

Qualcomm, yang berasal dari San Diego, California, Amerika Serikat, fokus pada penelitian dan pengembangan teknologi jaringan nirkabel, termasuk 3G dan 4G. Teknologi macam ini mereka tanamkan pada prosesor seri Snapdragon.

Vice President Business Development Qualcomm, David Nesh mengatakan, Snapdragon saat ini digunakan oleh lebih dari 1.000 model perangkat mobile. "Kami menjangkau semua segmen pasar, mulai dari yang low-end sampai high-end," katanya dalam acara Innovation Qualcomm 2013 di Jakarta, Kamis (26/9/2013).

Prosesor seri Snapdragon juga dipakai oleh ponsel pintar kelas atas, termasuk Samsung Galaxy S4 (untuk pasar Amerika Serikat), Sony Xperia Z, HTC One, Nokia Lumia 920, hingga BlackBerry Z10.

Nesh menambahkan, perusahaan menyediakan Snapdragon seri 200, 400, 600, dan 800. Produk tersebut mendukung semua sistem operasi seperti Android, Windows Phone, Windows RT, Linux, Firefox OS, hingga BlackBerry.

Selain itu, Qualcomm juga menyediakan unit prosesor grafis dari keluarga Adreno, yang meliputi seri 200, 205, 220, 225, 320, dan 330.

Selain di pasar global, Qualcomm juga menggarap pasar dalam negeri. Country Manager Qualcomm Indonesia, Ben Siagian mengatakan, pihaknya telah mengajak produsen ponsel dan tablet lokal untuk memakai prosesor Snapdragon. Mito dan Imo, merupakan produsen ponsel lokal yang telah bermitra dengan Qualcomm.

iOS 7 Bikin Sakit Kepala?

Posted: 26 Sep 2013 01:55 AM PDT

KOMPAS.com — Apple merombak sistem operasi mobile iOS secara besar-besaran. Tak hanya mengusung tampilan baru, iOS 7 juga dilengkapi berbagai macam fitur baru.

Salah satu fitur baru yang datang dari segi tampilan adalah efek parallax. Efek ini akan membuat ikon-ikon di iPad dan iPhone bergerak menyesuaikan gerakan dari iPhone atau iPad.

Fitur lainnya, Apple memberikan animasi zooming ketika pengguna sedang membuka folder atau membuka sebuah aplikasi.

Kedua fitur ini memang membuat iOS 7 tampak semakin keren. Namun, gerakan animasi ini ternyata berdampak buruk terhadap beberapa pengguna.

Melalui forum di situs resmi Apple, efek dari gerakan animasi tersebut membuat mereka pusing. Bahkan, seorang pengguna sampai harus pulang dari tempat kerjanya karena sudah tidak mampu menahan rasa sakit di kepalanya.

"Pusing ini persis ketika saya mabuk darat saat berusaha membaca di dalam mobil," kata salah seorang anggota forum, seperti dikutip dari Ubergizmo, Kamis (26/9/2013).

Efek parralax sendiri dapat dengan mudah dimatikan. Sayangnya, efek zoom ketika membuka folder tidak bisa dimatikan sama sekali.

Untuk mematikan efek parralax, buka menu Setting, General, Accessibility, dan ubah pengaturan Reduce Motion menjadi "On".

Saat ini, satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah ini adalah menurunkan versi iOS kembali ke versi 6. Belum ada pernyataan resmi dari pihak Apple mengenai kasus ini.

Apakah Anda merasa pusing ketika melihat efek parralax atau zooming?

No comments:

Post a Comment