KOMPAS.com - Nasional

KOMPAS.com - Nasional


Kasus Yayasan Supersemar, Kejagung Ajukan PK

Posted: 20 Sep 2013 08:59 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com - Kejaksaan Agung (Kejagung) mengajukan memori Peninjauan Kembali (PK) atas putusan kasus Yayasan Supersemar ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Pengajuan memori PK tersebut setelah Mahkamah Agung (MA) melakukan kesalahan fatal yaitu salah mencantumkan nominal putusan yang harus dibayarkan Yayasan Supersemar.

Jaksa Agung Basrief Arief mengatakan, memori PK tersebut telah ditandatangani sejak beberapa waktu lalu. "Saya sudah tandatangani PK-nya terhadap putusan Supersemar," kata Basrief di Kejagung, Jumat (20/9/2013).

Sayangnya, ketika ketika dikonfirmasi kapan Kejagung mendaftarkan ke PN Jakarta Selatan, ia enggan membeberkannya. Ia menyatakan, memori tersebut telah diserahkan kepada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun). Selanjutnya, Jamdatun akan mendaftarkannya PN Jakarta Selatan.

Ia optimis, kasus ini dapat segera selesai. Pasalnya, persoalan yang terjadi hanya masalah kesalahan pengetikan nominal dalam amar putusan saja. "Masalahnya hanya mengenai penyebutan nominal dari miliar menjadi juta. Itu saja. Jadi Insya Allah bisa. Doakan saja," tandas Basrief.

Seperti diketahui, MA mengabulkan gugatan kasasi yang diajukan Kejagung atas kasus Yayasan Supersemar. Namun, dalam putusan kasasi nominal yang seharusnya dibayarkan Yayasan Supersemar sebesar Rp 139 miliar, ternyata hanya ditulis Rp 139 juta.

Dampaknya, Kejagung akhirnya menunda proses eksekusi putusan tersebut sebelum nominal yang terdapat di dalam salinan putusan tersebut diubah. Selain itu, Yayasan Supersemar juga diwajibkan membayar ganti rugi negara sebesar USD 315 juta. Total, jumlah kerugian negara yang harus dibayarkan Yayasan Supersemar yaitu USD 315 juta dan Rp 139 miliar atau setara dengan Rp 3,7 triliun.

Editor : Hindra Liauw

Kejagung Belum Eksekusi 6 Terpidana Mati

Posted: 20 Sep 2013 08:47 AM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com — Kejaksaan Agung (Kejagung) mengaku masih memiliki pekerjaan rumah (PR) untuk mengeksekusi enam terpidana mati tahun 2013 ini. Namun, melakukan hal tersebut bukan perkara mudah.

Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kejagung Mahfud Manan mengatakan, hambatan terbesar untuk mengeksekusi para terpidana mati tersebut lantaran Kejagung masih menunggu apakah para terpidana akan melakukan upaya hukum kembali.

"Ini masih mumet lagi. Siapa orang yang rela mati toh? Dia punya hak asasi untuk mengajukan PK atau grasi," kata Mahfud di Kejagung, Jumat (20/9/2013).

Kejagung, katanya, telah berupaya menawarkan kepada para terpidana mati apakah akan mengajukan upaya hukum lain atau tidak. Semua itu, dikatakan Mahfud, guna memenuhi hak para terpidana mati.

Sebelumnya, Kejagung menargetkan akan mengeksekusi 10 terpidana mati. Namun dari target tersebut, baru empat terpidana mati yang telah dieksekusi. Mereka adalah Ibrahim, Jurit, Suryadi Swabuana, dan Adami Wilson.

Enam terpidana mati lainnya masih dirahasiakan. Kejagung mengeksekusi Adami Wilson pada pertengahan Maret 2013 lalu. Ia divonis mati atas kasus kepemilikan narkoba.

Adapun ketiga orang lainnya baru dieksekusi pada Mei 2013. Ibrahim dan Jurit divonis mati atas kasus pembunuhan berencana terhadap Soleh pada tahun 1997. Sementara itu, Suryadi divonis mati atas kasus pembunuhan dan pencurian di Palembang.

Untuk diketahui, pada tahun 2012 lalu, tercatat setidaknya terdapat 133 terpidana mati di Kejagung yang belum dieksekusi. Sebanyak 71 orang terkait dengan kasus psikotropika, dua orang terkait dengan kasus terorisme, dan 60 orang lainnya terlibat dalam kasus pembunuhan.

Kejagung pun telah mengagendakan eksekusi terhadap 10 terpidana mati pada tahun ini dan 10 terpidana mati pada tahun 2014 mendatang.

Editor : Hindra Liauw

KPK Akan Jemput Paksa Haris Andi jika Mangkir Lagi

Posted: 20 Sep 2013 08:42 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com — Tersangka kasus dugaan penyuapan terkait pengalokasian Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID), Haris Andi Surahman, mangkir dari panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika kembali tak hadir tanpa keterangan pada panggilan berikutnya, KPK siap melakukan penjemputan paksa terhadap politisi Partai Golkar itu.

"Akan ada pemanggilan kedua. Kalau tidak diindahkan, tentu akan dilakukan (panggil paksa)," ujar Juru Bicara KPK Johan Budi di Gedung KPK RI, Jumat (20/9/2013).

Seperti diketahui, Haris diduga bersama-sama Fahd El Fouz atau Fahd A Rafiq menyuap anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Wa Ode Nurhayati. Menurut Johan, penetapan Haris sebagai tersangka ini merupakan pengembangan penyidikan perkara Wa Ode dan Fahd.

Adapun Wa Ode divonis enam tahun penjara karena dianggap terbukti menerima suap DPID dan melakukan tindak pidana pencucian uang. Sementara Fahd dituntut tiga tahun enam bulan penjara karena dianggap terbukti sebagai pihak penyuap.

Johan mengatakan, Haris disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 56 KUHP.

"KPK menemukan dua alat bukti yang cukup yang bisa mengaitkan dengan tersangka HAS," ujar Johan.

Peran Haris terungkap dalam persidangan kasus Fahd dan Wa Ode. Berdasarkan surat dakwaan Fahd, Haris seolah berperan sebagai perantara antara anak pedangdut A Rafiq itu dan Wa Ode. Sekitar September 2010, Fahd menemui Haris di Gedung Sekretariat DPP Partai Golkar di Slipi, Jakarta.

Dalam pertemuan itu, Fahd meminta agar Haris mencarikan anggota Banggar DPR yang bisa mengusahakan tiga kabupaten di Aceh, yakni Pidie Jaya, Aceh Besar, dan Bener Meriah, sebagai daerah penerima DPID.

Haris pun, menurut dakwaan, menghubungkan Fahd dengan Wa Ode Nurhayati. Dalam persidangan beberapa  waktu lalu, Fahd bahkan mengaku memberikan uang Rp 500 juta sebagai imbalan untuk Haris. Menurut Fahd, Haris bekerja sebagai staf ahli anggota DPR asal Fraksi Partai Golkar, Halim Kalla, adik mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Fahd mengaku pertama kali bertemu Haris pada 2009. Saat itu Fahd ikut dalam tim pemenangan Jusuf Kalla-Wiranto untuk wilayah Sumatera dalam Pemilihan Umum 2009. Ketika itu, menurut Fahd, dia menganggap Haris sebagai orang dekat Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden RI yang juga politikus senior Partai Golkar.

"Yang saya tahu, di mana ada JK, di situ ada Haris," ucapnya.

Atas terungkapnya peran Haris, majelis hakim Pengadilan Tipikor beberapa kali memerintahkan KPK untuk menangkap Haris.

Editor : Hindra Liauw

Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:

KPK Belum Blokir Rekening Rudi Rubiandini

Posted: 20 Sep 2013 07:10 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com - Hingga Jumat (20/9/2013), Komisi Pemberantasan Korupsi belum memblokir rekening terkait Kepala Satuan Kerja Khusus (SKK) Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) nonaktif Rudi Rubiandini, tersangka kasus dugaan penerimaan suap kegiatan hulu minyak dan gas. Sejauh ini, KPK baru melakukan penyitaan uang sekitar Rp 14 miliar, sejumlah batangan emas, serta satu unit Toyota Camry Hybrid terkait kasus ini.

"Barusan saya cek belum ada pemblokiran rekening," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Jumat.

Menurut Johan, belum ada kesimpulan dari tim penyidik KPK untuk melakukan pemblokiran rekening. Johan mengatakan, tim penyidik KPK masih mendalami laporan hasil analisis (LHA) dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai aliran dana mencurigakan terkait kasus dugaan suap SKK Migas.

"Itu transaksi dari rekening-rekening, jadi PPATK ini menganalisis bahwa itu merupakan transaksi mencurigakan, karena itu disampaikan kepada KPK. Terhadap LHA itu seperti biasa, penyidik melakukan tindak lanjut dengan menelaah LHA," tutur Johan.

Saat ditanya mengenai sebagian besar isi LHA dari PPATK tersebut, Johan selaku humas mengaku tidak tahu.

Pada 19 Agustus 2013, Johan mengatakan pihaknya akan segera memblokir aset Rudi setelah menerima LHA dari PPATK. Adapun PPATK menyerahkan LHA terkait kasus SKK Migas kepada KPK pada 30 Agustus 2013.

Ketua PPATK M Yusuf mengungkapkan, pihaknya telah mengantongi sumber dana yang diterima Rudi. Dia mengatakan, sumber dana yang diterima Rudi terkait dengan perusahaan bernuansa asing. Ada jenis pecahan mata uang asing yang mengalir ke Rudi. Saat ditanya apakah ada aliran dana ke pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Yusuf enggan mengungkapkannya dengan alasan takut menganggu proses penyidikan KPK.

Dalam kasus ini, KPK menetapkan Rudi sebagai tersangka atas dugaan menerima pemberian suap dari petinggi PT Kernel Oil Private Limited Simon G Tanjaya senilai 700.000 dollar AS. Uang tersebut diduga diberikan melalui pelatif golfnya, Deviardi alias Ardi. KPK pun menetapkan Simon dan Ardi sebagai tersangka. Diduga, Rudi tidak hanya menerima uang 700.000 dollar AS dari Simon. Mantan wakil menteri energi dan sumber daya mineral ini pun diduga menerima pemberian dari pihak lain.

Terkait penyidikan kasus Rudi, KPK menyita uang 200.000 dollar AS dari ruangan Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Waryono Karno. Bukan hanya itu, uang dalam pecahan mata uang asing juga ditemukan KPK dalam penggeledahan di ruangan Rudi di kantor SKK Migas beberapa waktu lalu. Dari sana, penyidik menyita 60.000 dollar Singapura, 2.000 dollar AS, dan kepingan emas seberat 180 gram.

Penyidik juga menemukan uang dalam deposit box Rudi di Bank Mandiri, Jakarta, senilai total 350.000 dollar AS. Selain uang, penyidik KPK menyita satu unit Toyota Camry Hybrid yang diduga milik Rudi. Mobil mewah itu diduga diberikan pihak selain Kernel melalui pelatih golf Rudi, Deviardi alias Ardi.

Editor : Hindra Liauw

KPK Dalami Dugaan Penyelewengan \"Bail Out\" Century Rp 6,7 Triliun

Posted: 20 Sep 2013 07:01 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi akan mendalami keterangan mantan Direktur Utama PT Century Mega Investindo, Robert Tantular, terkait dugaan penyelewengan dana talangan (bail out) Rp 6,7 triliun. Dana tersebut diduga sengaja digelontorkan pemerintah ketika Bank Century kalah kliring atau kolaps.

"Apabila ada dugaan penyelewengan tadi, kalau jadi ranah KPK tentu akan ditelusuri. Semuanya (didalami). Apa pun yang disampaikan Robert ke KPK kalau merupakan data atau info baru, tentu akan divalidasi oleh KPK," ujar Juru Bicara KPK Johan Budi di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (20/9/2013).

Selain itu, Johan mengatakan, KPK dapat membuka penyelidikan baru jika ditemukan dugaan penyelewengan dana talangan itu. Saat ini yang tengah disidik KPK adalah kasus dugaan korupsi pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

"Kalau ada data baru yang bisa dikembangkan, bisa saja dibuka penyelidikan baru. Tetapi, sampai hari ini belum ada," kata Johan.

Sebelumnya, Robert menduga ada invisible hand yang sengaja menyebabkan Bank Century kalah kliring atau kolaps. Dengan kondisi tersebut, pemerintah akhirnya campur tangan dan menggelontorkan dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun. Robert mengaku tak tahu apakah pengeluaran dana talangan terpaksa dilakukan atau merupakan skenario semata.

Robert menerangkan, pada 29 Oktober 2008, direksi Bank Century mengajukan permohonan fasilitas repo (repurchase agreement) aset oleh Bank Century kepada Bank Indonesia sebesar Rp 1 triliun. Namun, permintaan tersebut tidak dikabulkan dan pada 13 November Bank Century kalah kliring.

Sebelumnya Robert mengungkapkan, FPJP mulai diberikan pada 14 November 2008 hingga 18 November 2008, dengan jumlah total Rp 689 miliar. Pada 21 November 2008, Lembaga Penjamin Simpanan mengambil alih Bank Century.

Kemudian, tambah Robert, dana talangan mulai dikucurkan pada 28 November 2008 hingga 21 Juli 2009 dengan total Rp 6,7 triliun. Sementara Robert mengatakan, dirinya telah ditahan sejak 25 November 2008. Robert sendiri telah divonis empat tahun penjara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam kasus Century ini.

Dalam kasus Century, KPK menetapkan Budi Mulya sebagai tersangka. Budi disangka menyalahgunakan wewenang dalam pemberian FPJP kepada Bank Century tahun 2008 dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

Diduga, ada kesengajaan untuk mengubah syarat rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) penerima FPJP dari minimal 8 persen menjadi CAR positif. Dengan demikian, CAR Century yang ketika itu hanya 2,35 persen bisa mendapat pinjaman Rp 502,07 miliar.

Editor : Hindra Liauw

Pulih dari Ambeien, Luthfi Hasan Kembali Hadapi Sidang

Posted: 20 Sep 2013 06:53 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq, yang menjadi terdakwa kasus dugaan korupsi dan pencucian uang proyek impor daging sapi, telah kembali mendekam di Rumah Tahanan Guntur, Jakarta Selatan, setelah menjalani operasi ambeien di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, beberapa waktu lalu.

"LHI (Luthfi Hasan Ishaaq) sudah tidak di rumah sakit, dan tidak dibantarkan penahanannya," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Jumat (20/9/2013).

Menurut Johan, Luthfi selesai menjalani perawatan di RSCM beberapa hari lalu. Kini, lanjutnya, tim jaksa KPK sedang mengurus jadwal persidangan Luthfi. "Jaksa sedang urus ke hakim untuk pelaksanaan sidang," kata Johan.

Selama Luthfi menjalani perawatan pasca-operasi ambeien di RSCM, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta tidak menggelar sidang perkaranya. KPK pun membantarkan penahanan Luthfi agar masa perawatan dia di rumah sakit tidak mengurangi masa penahanannya.

Pada 26 Agustus lalu, salah satu pengacara Luthfi, M Assegaf, mengatakan bahwa operasi ambeien kliennya berhasil. Sejak itu, Luthfi dalam masa pemulihan di rumah sakit. Sebelum dioperasi, Luthfi memang bolak-balik ke rumah sakit karena ambeiennya. Tidak jarang, menurut Assegaf, ambeien yang diderita kliennya itu mengakibatkan pendarahan.

Adapun Luthfi didakwa melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait rekomendasi kuota impor daging sapi kepada Kementerian Pertanian. Dia dan Ahmad Fathanah diduga menerima uang dari PT Indoguna Utama senilai Rp 1,3 miliar. Selaku anggota DPR sekaligus Presiden PKS, Luthfi didakwa memengaruhi pejabat Kementan agar menerbitkan rekomendasi kuota impor 8.000 ton untuk PT Indoguna Utama. Luthfi juga didakwa menyamarkan harta kekayaannya yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi.

Editor : Hindra Liauw

Selesai Fisioterapi, Djoko Susilo Kembali ke Guntur

Posted: 20 Sep 2013 05:55 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI Inspektur Jenderal Djoko Susilo selesai berobat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Jumat (20/9/2013). Menurut Juru Bicara KPK Johan Budi, Djoko hanya menjalani fisioterapi di RSCM. Kini, katanya, Djoko sudah kembali ke Rumah Tahanan Guntur, Jakarta Selatan.

"Djoko Susilo fisioterapi saja, sudah balik, tidak dirawat," kata Johan di Jakarta.

Sebelumnya diberitakan bahwa Djoko dibawa ke RSCM karena mengeluh sakit. Adapun Djoko divonis 10 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan dalam kasus korupsi dan pencucian uang proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) Korlantas Polri. Kini dia mengajukan upaya banding atas putusan majelis hakim tersebut.

Di pengadilan tingkat pertama, Djoko dianggap terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama yang merupakan gabungan perbuatan dalam pengadaan proyek simulator SIM roda dua dan roda empat.

Dia juga dianggap terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang untuk periode 2003-2010 dan 2010-2012. Dalam amar putusannya, majelis hakim Tipikor memerintahkan agar aset-aset Djoko yang dianggap berasal dari tindak pidana korupsi disita negara. Nilai aset Djoko yang disita mencapai Rp 200 miliar.

Editor : Hindra Liauw

Soal Audit UN, KPK Akan Tindak Lanjuti jika...

Posted: 20 Sep 2013 05:40 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi akan menindaklanjuti kasus Ujian Nasional jika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyerahkan hasil audit 2012 dan 2013 yang menyatakan adanya kerugian negara dalam proyek Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tersebut.

"Soal laporan BPK, kalau diserahkan ke KPK, tentu akan jadi bahan untuk meneliti lebih jauh. Tapi kalau tidak diserahkan ke KPK, BPK juga bisa serahkan ke penegak hukum lain," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Jumat (20/9/2013).

Namun, menurut Johan, sejauh ini KPK belum menerima hasil audit BPK soal UN tersebut. Kendati demikian, Johan mengungkapkan bahwa KPK pernah menerima laporan masyarakat terkait penyelenggaraan UN dan penetapan Kurikulum 2013. Laporan masyarakat tersebut, kata Johan, masih ditelaah KPK.

"Kalau soal UN dan kurikulum, ada laporan ke KPK, itu masih ditelaah," ucapnya.

Sebelumnya BPK menemukan kerugian negara dan potensi kerugian negara selama penyelenggaraan UN 2012 dan 2013. Menurut hasil audit BPK, proses lelang pengadaan bahan UN tahun 2012 mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp 8,15 miliar.

Adapun untuk lelang 2013, ditemukan potensi kerugian negara sekitar Rp 6,3 miliar. Kemudian dalam penyelenggaraan UN 2012 dan 2013, BPK menemukan kerugian negara sekitar Rp 2,66 miliar. Kerugian negara ini diduga muncul akibat adanya pemotongan belanja, kegiatan fiktif, atau penggelembungan harga. Modusnya, yakni pemotongan belanja, kegiatan fiktif, dan penggelembungan harga.

Dalam proses lelang misalnya, panitia tidak memilih rekanan yang paling menguntungkan negara. Selain itu, rekanan yang terpilih juga dianggap tidak layak. Terkait hasil audit ini, anggota BPK Rizal Djalil mengungkapkan bahwa BPK siap menyerahkan hasil audit ini jika diminta penegak hukum.

Editor : Hindra Liauw

No comments:

Post a Comment