KOMPAS.com - Nasional

KOMPAS.com - Nasional


Apa yang Bisa Dipetik dari Kecelakaan Anak Ahmad Dhani?

Posted: 25 Sep 2013 12:57 PM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketika terjadi kecelakaan fatal yang melibatkan anak bungsu pasangan musisi Ahmad Dhani dan Maia Estianty, berinisial AQJ alias Dul (13), masyarakat seolah tersentak. Padahal ternyata kasus kecelakaan yang melibatkan anak di bawah umur sebagai pelaku atau penyebab kecelakaan lalu lintas, bukan baru kali ini terjadi. Apakah cukup dengan menghukum pelaku?

Kecelakaan fatal dengan pelaku di bawah umur yang juga pernah membetot perhatian media massa, melibatkan seorang pelajar SMA Negeri 28 Jakarta pada 13 Agustus 2011. Saat itu, pengemudi berinisial MHW (16) mengalami kecelakaan di Jalan Warung Buncit Raya, Jakarta Selatan. Dalam kecelakaan itu, dua orang tewas dan dua yang lain terluka.

MHW mengemudikan Toyota Yaris bernomor polisi B 1271 CB dalam perjalanan pulang dari sahur on the road di beberapa tempat menuju Pasar Minggu. Di dalam mobil itu juga ada empat teman MHW, berinisial NS (16), ADO (16), WMD (16), dan RA (16).

Di perempatan lampu merah tak jauh dari kantor Harian Republika di ruas jalan itu, mobil MHW kehilangan kendali, lalu menabrak separator busway dan pohon di median jalan. Akhirnya, mobil terpental ke arah timur dan terbalik di permukaan aspal.

Dalam berkas perkara kepolisian, disebutkan bahwa NA dan ADO tewas setelah sempat dibawa ke Rumah Sakit Jakarta Medical Center, di ruas jalan yang sama. Dua rekan lain MHW, VMD dan RA, mengalami luka dan dirawat di rumah sakit itu. Dua hari berselang, polisi menetapkan MHW sebagai tersangka kasus tersebut.

Kasus Dul dan MHW sama-sama kecelakaan yang melibatkan pengemudi di bawah umur, jelas belum memiliki surat izin mengemudi. Dua-duanya menyebabkan kecelakaan yang memakan korban jiwa. Bedanya, kasus MHW adalah kecelakaan tunggal sementara kecelkaan Dul melibatkan lebih dari satu kendaraan.

Dalam kasus Dul, kecelakaan yang terjadi di Tol Jagorawi Km 8+200, Cibubur, Jakarta Timur, Minggu (8/9/2013) dini hari, tiga mobil terlibat. Dul mengemudikan Mitsubishi Lancer B 80 SAL, kehilangan kendali menabrak pembatas tol kemudian menabrak dua mobil di jalur yang berlawanan arah, Toyota Avanza B 1882 UZJ dan Daihatsu Gran Max B 1349 TFM.

Akibat kecelakaan itu, ajal menjemput enam korban di lokasi kejadian. Satu korban lain meninggal dunia setelah sempat menjalani perawat di rumah sakit. Delapan orang korban lainnya harus dirawat karena terluka akibat tabrakan. Sehari kemudian, polisi menetapkan Dul sebagai tersangka.

Tinjauan Hukum

Mengemudikan mobil, seharusnya hanya dilakukan oleh mereka yang telah lulus ujian untuk mendapatakan setidaknya SIM A. Dari usia, MHW maupun Dul jelas belum memenuhi persyaratan, bahkan untuk mengikuti ujian SIM.

Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menegaskan seseorang bisa mendapatkan SIM bila memenuhi syarat usia, administratif, kesehatan, dan lulus ujian. Ayat 2 pasal tersebut menyebutkan secara eksplisit bahwa syarat minimal untuk dapat memiliki SIM adalah berusia 17 tahun.

Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Agung Ardiyanto pun memastikan dalam kasus MHW hanya ada surat tanda nomor kendaraan (STNK) yang disita. Tak ada SIM A di sana.

Untuk kedua kasus, polisi menerapkan Pasal 310 ayat 4 UU 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Ancaman hukuman yang dikenakan adalah maksimal 6 tahun penjara.

Dalam kasus MHW, penahanan tak dilakukan lama setelah dia ditetapkan menjadi tersangka. Atas permintaan keluarga dia mendapatkan penangguhan penahanan. Namun dalam berita acara polisi (BAP) tak pernah tercantum keterangan bahwa MHW ditahan, demikian ju tak pernah ada Surat Pemberitahuan Penahanan yang diterima kejaksaan.

"Dari awal tidak dilakukan penahanan. Yang jelas ketika diserahkan dari penyidik polisi ke kejaksaan, kondisinya tidak ditahan," ujar Ardiyanto. Menurut dia, keringanan didapat MHW karena masih di bawah umur, berstatus pelajar dan masih sekolah, serta ada permintaan keluarga.

Selain itu, lanjut Ardiyanto, ada rekomendasi dari Balai Pemasyarakatan Kelas I Jakarta Selatan. Rekomendasi dari lembaga di bawah payung Kementerian Hukum dan HAM ini menjadi salah satu dasar kejaksaan tak menahan MHW. "Kami memang memperhatikan rekomendasi Bapas. Itu memang tidak mengikat, tapi harus diperhatikan penegak hukum, penyidik, kejaksaan ataupun hakim," katanya.

Sedangkan dalam kasus Dul, polisi belum melakukan pemberitaan. Merujuk pemberitaan di televisi, Rabu (25/9/2013) malam, dalam pekan ini polisi baru akan memeriksa Dul di rumah meskipun menurut ayahnya, Ahmad Dhani, Dul sudah bersedia menjalani pemeriksaan di kantor polisi.

Sebelumnya, polisi sudah memastikan akan proses peradilan kasus Dul akan mengacu pula pada UU Perlindungan Anak, selain penggunaan Pasal 310 ayat 3 UU Nomor 22 Tahun 2009 sebagaimana dikenakan pada MHW.

Peradilan anak

Dalam penelusuran Kompas.com, kasus MHW telah maju ke persidangan perdana dalam peradilan anak pada 8 Maret 2012. Hampir satu bulan kemudian, vonis pun dijatuhkan kepada MHW, yakni pada 12 April 2012.

Majelis Hakim Penggadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengadili perkara pidana anak itu menjatuhkan vonis 3 bulan pidana penjara dan 6 bulan masa percobaan kepada MHW. Hal ini tercatat dalam petikan putusan nomor 256/Pid.Anak/2012/PN.Jkt.Sel.

Penjatuhan vonis masa percobaan berarti MHW tak harus menjalani hukuman penjara asalkan selama masa percobaan dia tak melakukan perbuatan pidana atau pelanggaran hukum apa pun. Selama masa percobaan itu pula, dia diharuskan melakukan wajib lapor ke kejaksaan secara berkala.

Menurut Ardiyanto, vonis majelis hakim lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum, yang menuntut 5 bulan pidana dan 10 bulan masa percobaan kepada MHW. Banyak hal dinyatakan sebagai pertimbangan meringkankan. "Selain dia masih anak-anak, dia juga sudah berdamai dengan (keluarga) korban meninggal maupun luka," kata Ardiyanto.

Dalam kasus Dul, persidangan memang masih belum berlangsung. Beragam pendapat bermunculan, termasuk pandangan bahwa seharusnya tak hanya si pelaku di bawah umur yang dikenakan pidana. Publik harap-harap cemas menanti proses persidangan dan pandangan hukum atas kasus kecelakaan ini.

Di tengah kemirisan kecelakaan fatal dengan kronologi dan korban sedemikian banyak, sebagian kalangan berpendapat restorative justice dapat diterapkan dalam kasus Dul. Konsep restorative justice memang diatur dalam UU 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang telah masuk Lembaran Negara pada 30 Juli 2012.

UU 11 Tahun 2012 ini merupakan revisi atas UU 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Masalahnya, UU hasil revisi dinyatakan baru akan berlaku dua tahun setelah diundangkan, alias baru berlaku per 30 Juli 2014.

Maka, polisi pun meminta pandangan dari para ahli dan pemerhati hukum. "Yang jelas pihak korban dan pelaku sudah dilakukan mediasi dengan baik dan pendapat ahli juga jadi acuan kita tentukan langkah ke depan," kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto.

Satu hal, Rikwanto mengatakan peraturan-perundangan tidak membedakan perlakuan hukum pada orang berada maupun tidak. "Ini satu contoh saja pelakunya putra orang tenar, tapi dalam penyidikan tidak ada beda," tegas dia.

Siapa salah?

Terlepas daridialektika terkait restorative justice,di depan mata terpapar fakta memprihatinkan. Data dari Sub Direktorat Penegakan Hukum Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya menunjukkan kecelakaan yang melibatkan pelajar alias pelaku di bawah umur ternyata bukan hanya satu dua perkara.

Data itu mencatat, selama periode 2011-2012 di wilayah hukum Polda Metro Jaya terjadi 677 kecelakaan yang melibatkan para pengendara kendaraan bermotor di bawah umur. Jumlah itu merupakan angka tertinggi ketiga dari kecelakaan berdasarkan kategori pelaku. Peringkat pertama kategori pelaku adalah karyawan swasta dengan 4.118 kasus, dan urutan kedua adalah pelaku berprofesi pengemudi dengan 834 pekara.

Peringkat pelaku di bawah umur sebagai penyebab kecelakaan, sampai akhir 2012 tetap menempati urutan ketiga. Sepanjang 2012, tercatat 487 kasus telah terjadi. "Pelajar di bawah umur cukup banyak dalam kompilasi data yang kita buat. Ini menjadi keprihatinan bersama," kata Rikwanto.

Fakta ini, tegas Rikwanto, butuh upaya bersama dari banyak kalangan dan institusi untuk menekan angka kecelakaan dengan pelaku di bawah umur maupun pelajar. Keterlibatan lembaga pendidikan, orangtua atau keluarga, dan polisi, tak bisa tidak menjadi mutlak.

Polisi sudah berupaya membangun kesadaran berlalu-lintas pada pelajar dengan menyentuh dunia pendidikan sejak dini, dengan program polisi cilik dan upacara. Kesadaran tentang peraturan hukum dan keselamatan berkendara menjadi sasarannya.

Tantangan sekarang, apa yang seharusnya ditegakkan lembaga pendidikan dan orangtua, agar para penerus bangsa tak lagi menjadi raja jalanan yang rentan membahayakan keselamatan jiwa? Adalah fakta yang seolah sudah menjadi kewajaran, melihat deretan sepeda motor bahkan mobil berjajar di pelataran sekolah. Nah.

Editor : Palupi Annisa Auliani

Foto CT Tunjuk Presiden SBY Beredar, Ini Komentar Istana

Posted: 25 Sep 2013 10:01 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com — Pihak Istana Kepresidenan akhirnya memberikan penjelasan resmi soal foto Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN) Chairul Tanjung atau CT yang tengah menunjuk ke arah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Foto tersebut beredar di media sosial, Rabu (25/9/2013).

Dalam foto tersebut, CT mengenakan baju batik bermotif warna abu-abu. Sementara itu, Presiden SBY, yang berdiri di dekat pintu masuk, didampingi Ibu Negara Ny Ani Yudhoyono, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, dan pejabat terkait lainnya.

Tatapan mata Presiden, Ibu Negara, dan sebagian anggota rombongan tampak mengarah ke CT yang menunjuk dengan menggunakan tangan kiri.

Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha ketika dihubungi Kompas.com mengatakan, foto tersebut diambil ketika CT mendampingi Kepala Negara meninjau ruang yang akan digunakan untuk Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-8 Negara-Negara Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik atau APEC di Nusa Dua, Bali, pada Selasa (24/9/2013) lalu.

"Konteks foto tersebut adalah saat di mana Pak CT sedang menjelaskan mengenai ruangan itu," kata Julian.

Julian mengatakan, Chairul menjadi salah satu panitia acara KTT tersebut.

Editor : Hindra Liauw

Dinyatakan Sehat, Bos Sang Hyang Seri Ditangkap

Posted: 25 Sep 2013 08:39 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Direktur Utama PT Sang Hyang Seri, EBS, akhirnya ditangkap tim penyidik Kejaksaan Agung. EBS yang merupakan tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan dan penyaluran benih hibrida di Kementerian Pertanian ditangkap saat tengah menjalani perawatan di Rumah Sakit Budi Abdi Waluyo, Rabu (25/9/2013). EBS dikatakan menderita sakit jantung.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Setia Untung Arimuladi menerangkan, tim penyidik Kejagung telah meminta pendapat dari dokter kejaksaan dan dokter yang merawat tersangka terkait kondisi kesehatannya. Dari hasil kesimpulan pihak medis, EBS dapat menjalani pemeriksaan.

"Dari informasi tim penyidik, berdasarkan hasil medical record menyimpulkan tidak ada kekhawatiran tentang penyakit (tersangka)," kata Untung dalam pesan singkat yang diterima Kompas.com.

Saat dijemput di rumah sakit, EBS sama sekali tidak melakukan perlawanan terhadap penyidik yang menjemputnya. "Sekarang yang bersangkutan sedang diperiksa di Gedung Bundar," ujarnya.

Untuk diketahui, EBS merupakan satu dari lima tersangka yang ditetapkan Kejagung dalam kasus ini. Empat tersangka lainnya ialah YMP, mantan Direktur Produksi PT Sang Hyang Sri (SHS), NS, mantan Direktur Litbang PT SHS, R, mantan Direktur Keuangan dan SDM PT SHS, dan K, mantan Dirut PT SHS. Saat ini, mereka ditahan di Rumah Tahanan Salemba Cabang Kejagung.

"Waktu penahanan mereka (empat tersangka) diperpanjang 40 hari," katanya.

Dalam kasus ini, ada dugaan rekayasa dalam lelang pengadaan bibit benih dan biaya pengelolaan cadangan benih nasional sebesar lima persen dari total nilai kontrak. Namun, biaya tersebut tidak pernah disalurkan ke kantor regional masing-masing daerah.

Berdasarkan hasil penyelidikan ke daerah, penyidik menemukan kejanggalan berupa penggelembungan anggaran pengadaan bibit benih tersebut. Dalam kasus itu juga, penyidik Kejagung pernah melakukan pemeriksaan terhadap Direktur Utama PT Sang Hyang Seri (Persero), Upik Rosalina Wasrin, sebagai saksi terkait dugaan korupsi pengadaan bibit tanaman hibrida di perusahaannya.

Editor : Hindra Liauw

Mengapa Amien Rais Rendahkan Jokowi?

Posted: 25 Sep 2013 07:13 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com – Barisan Relawan Jokowi Presiden 2014 (Bara JP) bereaksi keras terkait pernyataan Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais yang dinilai telah merendahkan sosok Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Salah satu anggota Bara JP, Daryanto Bended, menuding Amien Rais hanya meracau akibat iri dengan popularitas Jokowi.

"Amien yang merasa dirinya hebat, tak disebut sebagai kandidat capres. Kompensasinya, Amien frustrasi lalu mengingau," kata Daryanto dalam pernyataan pers yang diterima Rabu (25/9/2013).

Menurut Daryanto, dalam diri Amien Rais terjadi konflik antara kontruksi berpikir ilmuwan dan politisi. Dia menuturkan kedua hal itu tidak berjalan mulus sehingga Amien kemudian kerap memunculkan opini yang menyerang Jokowi.

Daryanto menilai sikap Amien yang sering mengkritik Jokowi dilatarbelakangi keinginannya untuk menjadi capres namun namanya masih kalah populer dengan Jokowi dalam berbagai survei.

"Jika ingin menjadi capres, seharusnya jangan dengan merendahkan orang lain. Cukup dengan menunjukkan kualitas yang dengan sendirinya meninggikan diri. Jangan malah merendahkan orang lain," ungkap Daryanto.

Seniman asal Ambarawa ini pun mencibir Partai Amanat Nasional yang didirikan Amien Rais. Ia menganggap PAN hanyalah partai kecil yang menjadi penggembira dalam koalisi. Meski Amien kerap melontarkan pernyataan pedas untuk Jokowi, Daryanto menuturkan Bara JP tetap bersyukur.

"Sosok seperti Amien Rais adalah sesuatu yang harus disyukuri, karena masyarakat jadi mudah membedakan pemimpin yang baik dan pemimpin yang buruk. Kehadiran badut-badut politik dari partai berkuasa, juga berguna, supaya masyarakat tambah cerdas," sindir Daryanto.

Amien Rais Kritik Jokowi

Saat memberi kuliah umum di hadapan ratusan mahasiswa Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (24/9/2013), Amien menyamakan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dengan mantan presiden Filipina Joseph Estrada. Kesamaannya, menurut Amien, mereka dipilih karena populer.

Menurutnya, Estrada terpilih sebagai presiden karena popularitasnya sebagai bintang film di Filipina. Namun, kata Amien, ia hanya bertahan beberapa bulan memimpin Filipina setelah digulingkan melalui kudeta dan digantikan oleh Gloria Macapagal Arroyo.

"Joseph Estrada setiap malam kerjanya hanya mabuk, dan dia dipilih hanya berdasarkan popularitasnya," ujar Amien.

Ia berharap, Indonesia tidak memilih Jokowi sebagai presiden pada Pemilihan Presiden 2014 hanya karena popularitasnya. "Jokowi memang tidak separah Joseph Estrada, tapi jangan memilih dia karena popularitasnya saja," kata Amien.

Amien mengungkapkan, saat dipimpin Jokowi, Solo merupakan salah satu kota termiskin di Jawa Tengah. Jokowi pernah menjadi Wali Kota Solo selama hampir dua periode, sebelum memutuskan bertarung dalam Pilkada DKI Jakarta 2012.

"Daerahnya masih banyak yang kumuh, hanya Slamet Riyadi saja yang bagus. Tapi Jokowi malah dinobatkan sebagai wali kota nomor tiga terbaik di muka bumi, mungkin hanya karena popularitas," ujarnya.

Pernyataan "pedas" Amien Rais soal Jokowi bukan kali ini saja. Sebelumnya, ia mempertanyakan nasionalisme Jokowi.

Editor : Hindra Liauw

Masyarakat Cenderung Korupsi Saat Ditilang Polisi

Posted: 25 Sep 2013 07:07 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com — Masyarakat cenderung menyuap saat berhadapan dengan polisi. Hal ini misalnya terjadi ketika warga ditilang oleh polisi karena melakukan pelanggaran lalu lintas.

Demikian hasil survei Transparency International Indonesia (TII) yang dirilis di Jakarta, Rabu (25/9/2013). Tercatat, sebanyak 47 persen responden punya pengalaman dengan suap ketika berusaha menghindari sanksi tilang. Menghindari sanksi tilang dengan membayar uang dalam jumlah tertentu masih dianggap sebagai jalan pintas.

"Ini jenis korupsi yang paling sering terjadi dan dilakukan oleh masyarakat pada umumnya," kata Koordinator Youth Departement TII Lia Toriana saat menjelaskan hasil surveinya.

Hasil tersebut didukung pula oleh aspek survei selanjutnya yang menanyakan kepada responden mengenai integritas berbagai institusi. Hasilnya, institusi keamanan (polisi dan lainnya) mendapatkan presentase paling rendah, yakni sebesar 34 persen.

Di urutan kedua, masyarakat cenderung melakukan perbuatan koruptif saat ingin berhubungan dengan proses perizinan tertentu dengan presentase 20 persen. Sisanya, responden cenderung melakukan korupsi saat ingin lulus dalam suatu ujian (11 persen), mendapatkan pelayanan kesehatan (8 persen), mendapatkan pekerjaan (4 persen), dan mendapatkan akses bisnis (4 persen).

Survei dilakukan di DKI Jakarta pada periode bulan Juli 2012-Desember 2013. Sampel adalah anak muda yang berusia 15 sampai 30 tahun. Metode penelitian ini menggabungkan dua metode, yaitu kuantitatif dan kualitatif.

Metode kuantitatif dilakukan di 50 kelurahan di lima wilayah DKI Jakarta, sementara metode kualitatif dilakukan dengan focus group discussion (FGD). Margin of error penelitian ini menggunakan tingkat kepercayaan 95 persen, berada di bawah 2,5 persen.

Editor : Hindra Liauw

Buktikan Akurasi, KPU Siap Sandingkan Data Per Kecamatan

Posted: 25 Sep 2013 06:44 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan siap menyandingkan data pemilih versinya dengan data kependudukan milik Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) secara berhadap-hadapan hingga tingkat kecamatan.

Hal itu untuk membuktikan akurasi data pemilih yang dimiliki KPU. "Kami siap menyandingkan data 'apple to apple'. Kalau perlu per kecamatan disejajarkan data milik KPU dan Kemendagri, lalu dicari yang keliru untuk diperbaiki," ujar Komisioner Ferry Kurnia Rizkiyansyah di Jakarta, Rabu (25/9/2013).

Ia mengungkapkan, melalui penyandingan data, baik dengan sistem informasi maupun secara manual tersebut, pihaknya dapat menyisir catatan ganda yang timbul di setiap sistem informasi kedua belah pihak.

Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri Irman mengatakan, KPU diminta hanya menetapkan DPT dengan akurasi yang sudah dipastikan. Akurasi itu, kata dia, ditunjukkan dengan menyandingkan data dari daftar pemilih sementara hasil perbaikan (DPSHP) milik KPU dengan daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) milik Kemendagri.

Menurutnya, jika perbedaan data kemudian ditemukan, maka KPU harus mampu menjelaskan penyebab perbedaan tersebut. "Apakah karena dia meninggal, atau menikah, atau sudah menjadi anggota TNI/Polri," katanya.

Dalam memutakhirkan data pemilih, KPU menggunakan Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih). Meskipun didukung dengan sistem informasi yang diklaim dapat menjamin keakurasian data tunggal, SIAK dan Sidalih tidak terintegrasikan sehingga, baik KPU maupun Kemendagri merasa memiliki data tunggal masing-masing.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Arief Wibowo mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 telah menjelaskan bahwa sistem pemutakhiran data pemilih itu harus diintegrasikan dengan sistem informasi dan administrasi milik Kemendagri.

Editor : Hindra Liauw

Sebelum Ikut Pemilu, Calon Harus Diuji!

Posted: 25 Sep 2013 06:36 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com – Sistem pemilu yang berlaku saat ini dinilai tidak mampu menciptakan pemimpin dan wakil rakyat yang akuntabel dan bertanggung jawab kepada publik. Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengusulkan, calon presiden, calon kepala daerah dan calon anggota legislatif (caleg) yang akan bertanding pada pemilu dilahirkan melalui proses konvensi terbuka.

"Apapun istilahnya, ada tahap atau mekanisme uji publik bagi setiap pasangan calon dalam pilkada (pemilihan kepala daerah) dan pilpres (pemilihan presiden) atau caleg di pileg (pemilu legislatif). Dalam konteks pilpres di Amerika Serikat, misalnya, konvensi itu mekanisme uji publik. Ada wadah semacam itu yang di Indonesia tidak ada," ujar Haris di Jakarta, Rabu (25/9/2013).

Ia mengatakan, teknis uji publik dapat diatur oleh pembuat undang-undang dan penyelenggara pemilu. Intinya, kata dia, ada mekanisme pengujian calon yang akan diusung oleh publik. "Itu suatu keniscayaan yang mesti ada," lanjutnya.

Sebelumnya, ia mengritik sistem pemilu, baik pilkada, pilpres dan pileg yang selama ini diterapkan di Indonesia. Menurut Haris, pemimpin dan wakil rakyat yang dihasilkan sistem pemilu yang demikian bukanlah pemimpin yang bertanggung jawab pada amanat yang diembannya.

Lebih rinci, dia mencontohkan, sistem pemilihan legislatif dengan daerah pemilihan (dapil) yang sangat luas. "Satu dapil pun terdapat banyak sekali caleg yang membuat pemilih sulit mengenali dan memilih calon yang baik," tukasnya.

Sedangkan, dalam konteks pelaksanaan pilkada, tuturnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, belum menjamin bahwa kandidat yang diusung menjadi pasangan calon kepala daerah dan wakilnya ada kandidat yang memiliki kompetensi.

Editor : Hindra Liauw

KPK Ingin Mempercanggih Alat Sadap

Posted: 25 Sep 2013 06:28 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berharap bisa mempercanggih alat sadap guna kepentingan penyelidikan ataupun penyidikan. Alat sadap akan diperbaharui jika lembaga antikorupsi tersebut mendapat anggaran dari Dewan Perwakilan Rakyat.

"Mudah-mudahan kalau diberikan anggaran oleh DPR, insya Allah akan kita lakukan (percanggih alat sadap)," ujar Ketua KPK Abraham Samad di Jakarta, Rabu (25/9/2013).

Sebelumnya, Indonesia membeli alat antisadap seharga 5,6 juta dollar AS. Alat tersebut merupakan produk pabrikan Inggris, Gamma TSE Ltd. Menurut Abraham, hal itu bukan berarti ancaman untuk KPK. KPK justru menilai pihaknya dapat bekerja sama dengan TNI untuk memberantas korupsi.

"Sama sekali tidak (merasa terancam). Kita berterima kasih karena kita bisa bekerja sama untuk memerangi kejahatan terutama kejahatan korupsi," kata Abraham.

Sebelumnya, Kepala Pusat Komunikasi (Kapuskom) Publik Brigadir Jenderal TNI Sisriadi menegaskan, pihak Kementerian Pertahanan (Kemenhan) tak akan menyalahgunakan alat antisadap tersebut untuk kepentingan politik atau pihak tertentu.

Menurut dia, pengadaan peralatan intelijen itu digunakan agar proses pertukaran informasi antara Bais TNI dan kantor-kantor Atase Pertahanan RI di seluruh dunia dapat berlangsung dengan aman. Alat tersebut diperlukan untuk menjamin bahwa pengiriman data atau informasi strategis tidak terganggu atau tersadap pihak-pihak yang tak bertanggung jawab.

Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro juga menegaskan bahwa peralatan intelijen yang dibeli Kemenhan itu akan digunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Dia mengatakan, alat itu tidak akan digunakan untuk intelijen level bawah, seperti intelijen kriminal atau intelijen ekonomi. Dengan kata lain, peralatan tersebut akan digunakan bagi intelijen strategis.

Editor : Hindra Liauw

No comments:

Post a Comment