KOMPAS.com - Nasional

KOMPAS.com - Nasional


Soal Mobil Murah, Prabowo Dukung Jokowi

Posted: 28 Sep 2013 08:07 AM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com – Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto mendukung penolakan yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo atas kebijakan mobil murah ramah lingkungan. Menurut Prabowo, mobil murah itu seharusnya bisa mendorong industri nasional.

"Soal mobil murah ini, saya agaknya cocok dengan Jokowi. Kalau mobil murah, harusnya buatan Indonesia. Masak kita sudah sekian tahun enggak punya mobil sendiri?" ujar Prabowo dalam jumpa pers di Bandara Halim Perdana Kusuma, Sabtu (28/9/2013).

Prabowo juga mengkritik pemerintah karena seharusnya lebih mendorong perbaikan transportasi umum yang lebih efisein dan murah. Kehadiran mobil murah ini, kata Prabowo, akan menghadirkan kemacetan luar biasa, bukan hanya di Jakarta tetapi juga di kota lain. Selain itu, kebijakan mobil murah ini juga akan menjadi ancaman bagi industri otomotif nasional.

Menurut Prabowo, pemerintah terlalu terburu-buru membuka kesempatan produsen mobil murah, sementera negara belum siap dibanjiri mobil. "Jadi kita harus menyerap lagi industri luar, kalau begitu kapan Indonesia produktif? Ikan asin, ikan teri, garam kita impor. Bawang kita impor. Kita jadi bangsa yang tidak produktf," ujarnya.

Mobil berharga terjangkau

Aturan mengenai low cost green car ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 33/M-IND/PER/7/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau. Permenperin itu merupakan turunan dari program mobil emisi karbon rendah atau low emission carbon (LEC) yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2013 tentang kendaraan yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Peraturan itu, antara lain, menyebutkan tentang keringanan pajak bagi penjualan mobil hemat energi. Hal ini memungkinkan produsen mobil menjual mobil di bawah Rp 100 juta. Dengan peraturan itu, mobil dengan kapasitas di bawah 1.200 cc dan konsumsi bahan bakar minyak paling sedikit 20 km per liter dapat dipasarkan tanpa PPnBM.

Dalam beberapa kesempatan, Gubernur DKI Jakarta Jokowi menyatakan tidak setuju, tetapi tidak menentang kebijakan soal mobil murah. Menurutnya, kebijakan tentang mobil murah itu tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ia menilai bahwa yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah transportasi yang nyaman, aman, dan murah. Transportasi itu harus disediakan oleh pemerintah. Dengan demikian, persoalan polusi udara ataupun kemacetan lalu lintas dapat terselesaikan dengan cepat dan tepat. Jokowi yakin, dengan adanya PP tersebut, masyarakat akan tergiur untuk membeli mobil karena harganya lebih terjangkau. Akibatnya, impian bebas macet di jalan-jalan kota besar akan sulit terlaksana.

Editor : Laksono Hari Wiwoho

Jika Terpilih, Sutarman Harus Independen pada Pemilu 2014

Posted: 28 Sep 2013 06:44 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Sutarman diminta untuk independen jika terpilih sebagai Kepala Kepolisian RI. Apalagi, masa kepemimpinan Kapolri mendatang akan dihadapkan pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Sutarman menjadi calon tunggal yang diajukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menggantikan Jenderal Timur Pradopo.

"Independen harus dijaga betul, meski pun terlihatnya sulit," ujar pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar, saat dihubungi, Sabtu (28/9/2013).

Menurutnya, orang nomor satu di kepolisian seharusnya dapat membuat keputusan tunggal yang tidak diintervensi siapa pun. Berbeda dengan jajaran bawah yang terkadang harus menuruti atasan. Secara organisasi, Bambang menilai, Polri sulit untuk independen.

"Organisasi polisi sendiri posisinya sudah tidak independen. Polri di bawah eksekutif sehingga sulit bertindak independen," katanya.

Ia juga menilai, pilihan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap Sutarman tak hanya didasarkan pada penilaian kemampuan, tetapi juga bersifat politis.

Seperti diketahui, Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat secara resmi menerima surat dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Jumat (27/9/2013). Surat tersebut berisi pengusulan Komisaris Jenderal Sutarman sebagai calon tunggal Kapolri oleh Presiden.

Jika terpilih, Sutarman akan menggantikan Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo. Sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, nama usulan Presiden disampaikan kepada DPR untuk diminta persetujuan. Komisi III selanjutnya akan melakukan tes kelayakan dan kepatutan terhadap Sutarman.

Editor : Inggried Dwi Wedhaswary

Anies Baswedan Sarankan Moratorium Ujian Nasional

Posted: 28 Sep 2013 05:33 AM PDT

Rektor Universitas Paramadina, Anies R Baswedan, memberikan kata sambutan dalam acara peluncuran buku karya Staff Khusus Presiden Bidang Hukum, Denny Indrayana, di Universitas Paramadina, Jakarta, Jumat (7/10/2011). | KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES


JAKARTA, KOMPAS.com
- Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melakukan penghentian sementara (moratorium) penyelenggaraan ujian nasional (UN). Moratorium, kata Anies, menjadi kesempatan untuk mengevaluasi pelaksanaan UN.

"Jadi, dengan adanya moratorium itu, ada jeda untuk mengevaluasi dan me-review dengan benar," ujar Anies, di Jakarta Convention Center (JCC), Sabtu (28/9/2013).

Menurut Anies, moratorium UN juga sejalan dengan putusan Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2009. "Jadi harus distop dulu agar perencanaan berjalan dengan baik," katanya.

Pendiri Gerakan Indonesia Mengajar ini juga mempertanyakan manfaat ujian nasional. Ia menilai, kebijakan pendidikan melalui ujian nasional tidak menghasilkan individu yang berintegritas.

"Jadi UN jangan dipaksakan. Yang nantinya menimbulkan masalah seperti ketidakjujuran," ujarnya.  

Sebelumnya, untuk menentukan kelangsungan penyelenggaraan UN, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggelar Konvensi UN pada 26-27 September 2013. Hasilnya, ada 27 poin konvensi, di antaranya, pencapaian mutu sekolah dicapai dengan standar yang telah ditetapkan dan peningkatan standar secara berkala; diadakannya UN mempunyai dasar hukum yang tercantum dalam peraturan perudang-undangan yang berlaku; dan keberagaman kualitas sekolah di Indonesia memerlukan standar yang berlaku secara nasional yang pencapaiannya diukur melalui UN (Baca: Ini Dia 27 Poin Hasil Konvensi UN)

Editor : Inggried Dwi Wedhaswary

PBB: Jokowi, Selesaikan Saja Tugas Gubernur

Posted: 28 Sep 2013 05:22 AM PDT


BENGKULU, KOMPAS.com - Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB) MS Kaban mengatakan, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo sebaiknya menyelesaikan tugasnya sebagai gubernur hingga akhir masa bakti. Hal ini dikatakannya menanggapi kuatnya dorongan kepada politisi PDI Perjuangan itu untuk maju sebagai calon presiden.

"Jokowi kan di mana-mana bilang tidak akan mencalonkan diri menjadi presiden, itu kan sudah komitmen dia. Jadi, peluang Jokowi jadi calon presiden tertutup. PDI-P juga masih bungkam. Biarkan Jokowi menyelesaikan tugasnya sebagai gubernur," kata MS Kaban, saat menghadiri pembekalan calon anggota legislatif PBB, di Bengkulu, Sabtu (28/9/2013).

Menurutnya, jika Jokowi maju sebagai capres, maka ia tidak menepati janjinya sendiri.

Sementara itu, ia menegaskan, PBB tetap akan mencalonkan Yusril Ihza Mahendra sebagai calon presiden yang akan diusung pada Pemilihan Presiden 2014. Kaban mengatakan, partainya tidak menutup koalisi dengan partai lain.

"Kita siap berkoalisi dengan partai mana pun, selagi ideologinya bukan komunis," kata mantan Menteri Kehutanan ini.

Pada Pemilu 2014, PBB menargetkan 8 persen suara dan masuk dalam jajaran partai menengah. 

Editor : Inggried Dwi Wedhaswary

Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:

Anies Baswedan: Kalau Bukan Demokrat, Sebaiknya Saya ke Mana?

Posted: 28 Sep 2013 04:47 AM PDT

Peserta Konvensi Partai Demokrat, Anies Baswedan (tengah) berbincang bersama anggota Komite Bidang Program dan Acara Hinca Panjaitan (kiri), serta anggota Komite Konvensi Effendi Gazali sebelum mengikuti wawancara konvensi di Wisma Kodel, Jakarta, Selasa (27/8/2013). Selain Anies, tiga tokoh lainnya direncanakan akan mengikuti konvensi pada hari ini yaitu Endriartono Sutarto, Hayono Isman, dan Irman Gusman. | TRIBUNNEWS/DANY PERMANA


JAKARTA, KOMPAS.com - Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan menegaskan bahwa tak ada yang salah dengan pagelaran Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat. Demikian pula pilihannya mengikuti konvensi yang diselenggarakan Demokrat. Namun, menurutnya, penyelenggara konvensi yang bisa saja bermasalah.

"Memang banyak yang tanya, kenapa ke Demokrat. Saya balik bertanya, sebaiknya yang mana?  Bukan kah konvensi adalah cara yang benar? Bahkan, ada yang ditentukan oleh donor terbesar. Jadi konvensi itu benar, penyelenggaranya yang bermasalah," ujar Anies seusai acara A State of Indonesian Creative Conference IDEAFEST 2013, Jakarta Convention Center, Sabtu (28/9/2013).

Anies menjelaskan, penyelenggara konvensi yang bermasalah, dalam hal ini Demokrat, merupakan opini di masyarakat. Menurutnya, anggapan itu ada karena sejumlah kader Demokrat yang terjerat kasus korupsi.

"Selama ini kan ada opini. Opini bahwa Partai Demokrat itu partai di mana banyak pegiat-pegiatnya yang terlibat kasus korupsi sehingga mendapat sorotan luas. Tapi konvensinya sendiri mekanisme yang benar bukan?" terangnya.

Anies tak menampik banyak kritikan setelah dirinya menjadi peserta Konvensi Demokrat. Ia mengatakan, awalnya diundang untuk menjadi peserta konvensi dan merasa terpanggil karena negara dan siap bertanggung jawab.

Konvensi Demokrat diikuti 11 peserta, yaitu:
1) Ali Masykur Musa (anggota Badan Pemeriksa Keuangan);
2) Marzuki Alie (Ketua Dewan Perwakilan Rakyat);
3) Pramono Edhie Wibowo (mantan Kepala Staf Angkatan Darat);
4) Irman Gusman (Ketua Dewan Perwakilan Daerah);
5) Hayono Isman (anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrat);
6) Anies Baswedan;
7) Sinyo Harry Sarundajang (Gubernur Sulawesi Utara):
8) Endriartono Sutarto (mantan Panglima TNI);
9) Gita Wirjawan (Menteri Perdagangan);
10 Dino Patti Djalal (Duta Besar RI untuk Amerika Serikat);
11)Dahlan Iskan (Menteri BUMN).

Editor : Inggried Dwi Wedhaswary

Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:

KPK Sidik Kasus Korupsi Lain yang Diduga Libatkan Nazaruddin

Posted: 28 Sep 2013 03:37 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyidik kasus dugaan korupsi lain yang menjerat mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengungkapkan, kasus ini berbeda dengan kasus suap wisma atlet SEA Games atau kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pembelian saham perdana PT Garuda Indonesia yang menjerat Nazar.

"Dulu Nazaruddin kan hanya dikaitkan dengan tipikor (tindak pidana korupsi), sekarang ini TPPU dan tipikor atas kasus yang lain yang tidak berkaitan dengan kasus yang terdahulu," kata Bambang di Jakarta, Jumat (27/9/2013).

Menurut Bambang, kasus Nazaruddin yang baru ini berkaitan dengan kekayaan yang diperolehnya dari tindak pidana korupsi.

"Kasus kedua bukan hanya Garuda, Garuda hanya salah satu," ujar Bambang.

Kasus ini juga berkaitan dengan proyek lain yang pernah diurus mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu. Bambang mengatakan, sejumlah saksi sudah diperiksa terkait penyidikan kasus lain Nazarudin ini. Namun Bambang tetap menolak membeberkan kasus baru ini meskipun didesak wartawan.

"Itu yang tidak bisa saya sebut. Kalau baca sprindik (surat perintah penyidikan) yang dulu, kan sprindiknya ada dua. Sudah ada itu, tidak mungkin diperiksa kalau tidak ada sprindiknya. Ada tipikor yang kelanjutannya. Pokoknya selain wisma atlet, saya tidak mau sebut, pokoknya ada lah," ujar Bambang.

Dia juga menegaskan bahwa KPK tidak berhenti mengusut kasus-kasus yang berkaitan dengan Nazaruddin.

Wakill Ketua KPK Busyro Muqoddas pernah mengungkapkan bahwa KPK membutuhkan waktu paling tidak 10 tahun untuk menyelesaikan seluruh kasus dugaan korupsi yang melibatkan Nazaruddin. Selain sangat banyak, kasus dugaan korupsi yang melibatkan Nazaruddin sangat kompleks dan struktural.

Kasus terkait Nazaruddin juga menyangkut sejumlah pihak, di antaranya sejumlah kementerian, perguruan tinggi, dan rumah sakit. Nazaruddin juga kerap menyebut bekas koleganya di Partai Demokrat seperti Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Mirwan Amir, dan sejumlah nama lain ikut terlibat.

Melalui Grup Permai

KPK menelisik seluruh dugaan kasus korupsi yang melibatkan Nazaruddin melalui Grup Permai dengan sejumlah anak perusahaannya. Wakil Direktur Keuangan Grup Permai Yulianis di persidangan beberapa waktu lalu mengatakan, Grup Permai dan anak perusahaannya berperan menggiring proyek-proyek pemerintah agar tendernya dimenangkan mereka yang membayar perusahaan itu.

Dalam kasus dugaan suap wisma atlet misalnya, PT Anak Negeri, salah satu anak perusahaan Grup Permai, berperan membantu PT Duta Graha Indah (PT DGI) Tbk memenangkan tender proyek. Upaya itu berbuah fee yang harus diberikan kepada petinggi Grup Permai, salah satunya Nazaruddin.

Dalam kasus suap wisma atlet, Nazaruddin diputus menerima fee Rp 4,6 miliar dari PT DGI. Nazaruddin dinyatakan bersalah dan dihukum tujuh tahun penjara. Berdasar dokumen KPK, sejumlah proyek di beberapa kementerian diduga tendernya digiring oleh Grup Permai dan anak usahanya. Kementerian itu antara lain Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Agama, hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Belakangan, Nazaruddin mengungkapkan 12 proyek pemerintah yang menurutnya dikorupsi. Ke-12 proyek itu adalah proyek e-KTP senilai Rp 5,8 triliun; proyek fiktif pengadaan pesawat Merpati jenis MA 60 yang nilainya mencapai 200 juta dollar; proyek gedung pajak senilai Rp 2,7 triliun; proyek PLTU Kalimantan Timur senilai Rp 2,3 triliun pada 2010-2011; proyek PLTU Riau senilai Rp 1,3 triliun; proyek Diklat Mahkamah Konstitusi senilai Rp 200 miliar; proyek pembangunan gedung MK senilai Rp 300 miliar; proyek Refinery unit RU 4 Cilacap senilai 930 juta dollar; proyek Simulator SIM, proyek Hambalang berkaitan Wisma Atlet; proyek di Kementerian Pendidikan Nasional (Diknas); dan proyek pengadaan dean distribusi baju hansip di Kementerian Dalam Negeri.

Editor : Inggried Dwi Wedhaswary

Mobil Murah Sarat Kepentingan Politik Jelang Pemilu

Posted: 28 Sep 2013 02:35 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com — Analis kebijakan publik dari Universitas Paramadina, Dinna Wisnu, mengungkapkan, kebijakan mobil murah ramah lingkungan atau low cost green car (LCGC) bermuatan politik menjelang Pemilihan Umum 2014. Menurut Dinna, kebijakan ini menguntungkan partai yang kini berkuasa untuk memperbaiki citranya dengan meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi pada akhir tahun.

Dinna mengatakan, mendorong konsumsi masyarakat melalui program LCGC merupakan cara termudah untuk meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia.

"Cara paling gampang adalah dengan mendorong konsumsi, orang didesak belanja, naik dong pertumbuhan ekonomi. Namun masalahnya, setelah pemilu, siapa yang akan menyelesaikan dampak dari kebijakan ini?" kata Dinna dalam diskusi bertajuk "Mobil Murah Diuji, Transportasi Layak Dinanti" di Jakarta, Sabtu (28/9/2013).

Dia juga menilai kalau kebijakan LCGC ini sarat akan kebohongan. Harga mobil yang ditawarkan tidak bisa dikatakan murah, terutama bagi masyarakat kelas bawah. Selain itu, mobil ini masih menggunakan bahan bakar bensin sehingga konsep ramah lingkungannya patut dipertanyakan.

"Low cost-nya bohong, green car-nya bohon karena teknologinya tidak ada yang hibrid, tidak ramah lingkungan, modifikasi, semua tetap pakai bahan bakar. Harganya pun enggak murah karena ongkosnya bukan sekadar yang Rp 70 juta yang tertera di lapangan, enggak sanggup dibeli masyarakat bawah, ongkos sosialnya juga terlalu tinggi," ujarnya.

Menurut Dinna, kebijakan ini pun menguntungkan koorporasi yang selama ini menguasai industri otomotif di Indonesia. Dengan kebijakan LCGC, pelaku industri otomotif Indonesia dapat mempersiapkan diri memasuki ASEAN Free Trade Arena pada 2018 yang mendesak impor kendaraan bermotor tanpa pajak.

Dalam kesempatan yang sama, Anggota Komisi V DPR Hetifah menilai, program LCGC ini merupakan ujian bagi pemerintah dalam membuat kebijakan yang sesuai dengan konstitusi.

"Menurut kita punya konstitusi, pemerintah harusnya menyediakan angkutan publik yang dibutuhkan masyarakat," katanya.

Hetifah juga mengaku tidak setuju jika pemerintah mendorong masyarakat agar membeli mobil sebanyak-banyaknya melalui program LCGC ini. Politikus Partai Golkar itu mengatakan, sedianya pemerintah lebih memikirkan bagaimana kelompok miskin dapat terpenuhi kebutuhan mobilitasnya.

Editor : Inggried Dwi Wedhaswary

Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:

Bersihkan Sampah Politisi di Ruang Publik!

Posted: 28 Sep 2013 02:27 AM PDT


KOMPAS.com
- Dari sekian banyak hal yang menyebalkan dari politik adalah sampahnya. Sampah itu saat ini merusak publik di seluruh Indonesia. Mencegah kesebalan bertambah, "Petisi Reresik Sampah Visual" di laman www. change.org dibuat.

Petisi berisi seruan larangan memasang iklan politik di taman kota dan ruang terbuka hijau, trotoar, dinding dan bangunan warisan budaya, jembatan, tiang telepon, tiang listrik, tiang rambu lalu lintas, tiang lampu penerangan jalan, serta dipasang dan dipakukan di batang pohon. Hingga Jumat (27/9) malam, 3.181 orang memberi dukungan karena sebal dan berupaya membuat perbaikan.

Pabliyanda Akbario, salah satu penanda tangan petisi, mengemukakan, iklan visual politik merusak pemandangan dan membuat konsentrasi pengguna jalan terganggu. Awaluddin Yunus, penanda tangan lain petisi ini, menulis, "Gerakan ini bagus untuk menyadarkan kita bahwa kita punya hak untuk wilayah."

Inisiator Komunitas Reresik Visual, Sumbo Tinarbuko, di Yogyakarta, menjelaskan, petisi bermula dari gerakan masyarakat di Yogyakarta yang kian gemes terhadap sampah visual yang "merusak" kota. Semangat itu disebarkan lewat media sosial, seperti Facebook dan Twitter (@sampah_visual). Sambutannya cukup hangat.

Komunitas ini menggelar 14 aksi bersih-bersih sejak 2012. Awal Agustus 2013, misalnya, mereka bekerja sama dengan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Yogyakarta membersihkan 67 spanduk, baliho, pamflet, atau poster dari banyak caleg dan sejumlah partai politik. Gerakan ini makin kuat karena ada Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2013 yang efektif sejak 27 September. Di dalam aturan ini disebutkan, baliho atau papan reklame hanya untuk parpol dan calon anggota DPD. Calon anggota DPR dan DPRD boleh pasang satu spanduk 1,5 meter x 7 meter untuk satu zona.

Sumbo, yang juga dosen Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, mengatakan, sampah visual para politisi membuat masyarakat bangkit melawan. "Iklan politik yang berhasrat menjajah ruang publik justru membuat publik sinis terhadap egoisme caleg atau parpol," katanya.

Rusak lingkungan

Bagi anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Ace Hasan Syadzily, alat peraga seperti baliho memang dapat meraih simpati publik. Dia sendiri menyebarkan dua spanduk per kecamatan di Pandeglang dan Lebak. Isinya ucapan Idul Fitri sebagai anggota DPR, bukan sebagai caleg.

"Saya mendukung para caleg menggunakan alat peraga yang lebih elegan, artistik, dan tanpa merusak lingkungan (pohon)," kata Ace, yang juga Wakil Sekjen Partai Golkar.

Tunggal Pawestri, caleg dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan untuk DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta, malah menjadi inisiator petisi ini. Menurut dia, spanduk dan semacamnya kurang efektif memengaruhi publik. Jika dipasang serampangan, iklan itu justru memicu sinisme dan apatisme masyarakat pada politik.

Pengamat semiotika dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, Yasraf Amir Piliang, menilai, pemasangan spanduk dan sejenisnya sulit dihindari dalam kompetisi ketat pemilihan langsung. Sayangnya, peraga kampanye itu seragam, miskin kreativitas, dan lebih mengutamakan jumlah. Jangan-jangan didesain dan dicetak di pabrik yang sama.

Fenomena itu memperlihatkan sikap sebagian politisi yang malas, suka ambil jalan pintas, bahkan kehabisan akal berkampanye. Iklan yang berkualitas memerlukan proses, riset, gagasan kuat, rancangan desain artistik, dan strategi komunikasi. Publik tertarik dengan tawaran unik, baru, dan menyentuh.

Kini dengan peraturan KPU No 15/2013, upaya membersihkan sampah politisi ini makin kuat dasarnya. Badan Pengawas Pemilu dan aparat pemerintah daerah adalah penjurunya. Jika mereka malas atau justru main mata, masyarakat yang jengah akan turun tangan dengan caranya. (Ilham Khoiri)

No comments:

Post a Comment