KOMPAS.com - Nasional

KOMPAS.com - Nasional


Sopir Fathanah Akui Serahkan Uang ke Luthfi Hasan di SPBU

Posted: 26 Sep 2013 08:39 AM PDT

Tersangka, Ahmad Fathanah dihadirkan sebagai saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Jumat (17/5/2013). Ia bersama mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq, Menteri Pertanian, Suswono dan Maharani, bersaksi dalam kasus dugaan suap kuota impor daging sapi dengan terdakwa Juward Effendi dan Arya Abdi Effendi. | KOMPAS/LUCKY PRANSISKA


JAKARTA, KOMPAS.com — Nur Hasan selaku sopir Ahmad Fathanah mengaku pernah mengantarkan tas berisi uang kepada mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq. Uang itu diserahkan kepada Luthfi di SPBU kawasan Pancoran, Jakarta.

"Waktu itu dari Depok habis antar Bu Sefti (istri Fathanah) ke Margonda City. Setelah itu saya disuruh antar tas ke Pancoran," kata Hasan yang menjadi saksi terdakwa kasus dugaan suap pengaturan impor daging sapi dan pencucian uang Fathanah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (26/9/2013).

Menurut Hasan, tas berisi uang itu sudah ada di dalam mobil. Setibanya di SPBU, Hasan mengaku bertemu Luthfi yang menggunakan mobil VW Caravelle putih.

"Di sana ketemu Luthfi?" tanya jaksa.

"Iya," jawab Hasan.

Hasan mengaku awalnya tak tahu jika tas tersebut berisi uang. Namun, setelah diserahkan, Luthfi membukanya dan menghitung uang tersebut. "Setelah saya kasih, baru tahu isinya (uang) karena dibuka dan dihitung," ungkap Hasan.

Hasan juga pernah diperintah mengantar tas hitam ke RS Abdi Waluyo untuk Luthfi. Namun, saat itu Hasan mengatakan bertemu seseorang yang diutus Luthfi untuk mengambil tas.

Seperti diketahui, dalam surat dakwaan Fathanah disebutkan bahwa pada 27 Oktober 2012 Fathanah memberikan uang tunai sebesar Rp 200 juta kepada Luthfi. Uang itu diserahkan melalui sopir Fathanah.

Sementara itu, pada 3 Desember 2012, Fathanah menyerahkan Rp 750 juta untuk Luthfi di RS Abdi Waluyo melalui sopirnya. Sementara, seseorang yang mengambil tas hitam berisi uang di RS Abdi Waluyo diketahui adalah sopir Luthfi, yaitu Ali Imran. Saat bersaksi untuk Fathanah, Ali Imran pun membenarkan.

Dalam kasus ini, Fathanah didakwa melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Fathanah didakwa bersama-sama Luthfi menerima uang Rp 1,3 miliar dari PT Indoguna Utama terkait kepengurusan kuota impor daging sapi.

Dia juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang dengan menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membayarkan, dan membelanjakan harta kekayaan yang nilainya mencapai Rp 34 miliar dan 89.321 dollar AS. Diduga, harta tersebut berasal dari tindak pidana korupsi.

Editor : Hindra Liauw

Hanura: LPSK, Lindungi Imam Anshori

Posted: 26 Sep 2013 08:09 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com — Anggota Komisi III DPR RI sekaligus Ketua Fraksi Hanura, Syarifudin Sudding, meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) proaktif melindungi anggota Komisi Yudisial, Imam Anshori Saleh. Hal ini dipandang perlu agar Imam leluasa mengungkapkan identitas anggota Komisi III DPR RI yang mencoba memberikan suap dalam seleksi calon hakim agung 2012.

"LPSK harus proaktif kepada Imam Anshori supaya dia ungkap siapa namanya karena kita undang ke Komisi III, dia tidak datang. Lalu, ketika diundang ke Badan Kehormatan (BK), dia tidak mau mengungkapkan (identitas penyuap)," kata Sudding pada Kamis (26/9/2013) di Kompleks Parlemen, Jakarta.

Sudding juga mengungkapkan, dirinya mendorong agar Imam dapat mengungkapkan agar tidak terjadi fitnah. Terkait ketiadaan alat bukti, hal tersebut dapat dilacak.

"Saya pengacara sejak 1989, mencari alat bukti itu tidak sulit, kok, apalagi untuk pejabat sekelas Imam Anshori. Kalau ketemuan, kan, ada CCTV. Itu bisa ditelusuri, jangan bilang tidak ada bukti. Karena dia bilang (pembicaraan) lewat telepon, kan, bisa dilacak percakapan itu," ujar Sudding.

Sebelumnya diberitakan, BK DPR kecewa Imam tak bersedia membeberkan identitas penyuap anggota KY dalam seleksi calon hakim agung 2012.

"Pertemuan 50 menit mengecewakan kami semua yang hadir. Kita bermaksud membongkar, tapi enggak seperti yang kami harapkan, kami kecewa," kata Ketua BK Trimedya Panjaitan di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (25/9/2013).

Politisi PDI Perjuangan ini juga menyampaikan, tak banyak informasi baru yang disampaikan oleh Imam. Semua informasi dari Imam telah beredar di media massa, kecuali tentang undangan dari anggota Komisi III yang mengajak Imam bertemu di sebuah restoran di Plaza Senayan, Jakarta.

Bahkan, Trimedya mengaku sempat menawarkan Imam untuk membeberkan identitas anggota DPR yang mencoba melakukan suap hanya kepada BK DPR. Namun, Imam menolaknya. Padahal, Trimedya berjanji meminta semua staf dan tenaga ahli BK yang hadir dalam pertemuan untuk meninggalkan ruangan agar kerahasiaan informasi terjaga.

"Imam men-judge kami komoditas politik, dia enggak punya bukti dan takut dituntut balik. Kita jamin hanya tujuh pimpinan BK yang tahu dan bertanggung jawab, tapi Imam tetap menolak," tandasnya.

Terkait hal ini, Komisi III berencana menuntut Imam yang dituduh telah mencemarkan nama baik DPR.

Editor : Hindra Liauw

IPW: Proses Kasus Narkoba, Polri Tebang Pilih!

Posted: 26 Sep 2013 07:54 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menilai, Polri bersikap tebang pilih dalam memberikan sanski bagi anggotanya yang terlibat kasus narkoba. Anggota yang terbukti positif menggunakan narkoba dihukum rehabilitasi. Sementara itu, jika ada masyarakat yang terbukti mengonsumsi narkoba, maka mereka harus menjalani hukuman pidana penjara.

"Sikap Polri yang hanya akan merehabilitasi Kombes S hanya akan melecehkan aparat penegak hukum dan akan melukai rasa keadilan publik," kata Neta melalui pesan singkat yang diterima Kompas.com, Kamis (26/9/2013).

Seperti diwartakan, mantan Inspektur Pengawasan Daerah Polda Lampung, Kombes S, dinyatakan terbukti positif mengonsumsi narkoba berdasarkan tes urine. Namun, sidang kode etik Polri menyatakan bahwa Kombes S divonis hukuman rehabilitasi. Polri berdalih tidak menemukan barang bukti.

Neta menambahkan, sanksi ini tidak akan memberikan efek jera terhadap para anggotanya. Ketidaktegasan sikap Polri pada akhirnya justru akan membuat kasus narkoba di tubuh Polri tidak akan pernah terselesaikan.

"Dalam pikiran mereka, kalaupun tertangkap, toh akan direhabilitasi dan tidak dihukum. Seharusnya elite Polri bersikap tegas, mengingat jaringan narkoba sudah masuk terlalu jauh mengincar institusi kepolisian," ujarnya.

Kombes S ditangkap oleh Tim Divisi Propam Polri di sebuah kamar hotel bintang tiga di kawasan Teluk Betung Utara, Bandar Lampung, Selasa (17/9/2013) malam. Kombes S dikatakan tengah berpesta narkoba jenis sabu bersama seorang wanita.

Kombes S saat ini telah dimutasi dari jabatan sebelumnya ke jabatan baru sebagai perwira menengah (pamen) Pelayanan Markas (Yanma) di Mabes Polri.

Editor : Hindra Liauw

Pengamanan Data Pemilu oleh Lemsaneg Untungkan Demokrat?

Posted: 26 Sep 2013 07:48 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com - Nota kesepahaman antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) untuk menjaga data hasil perolehan suara Pemilu 2014 dicurigai malah menguntungkan Partai Demokrat (PD). Pasalnya, Lemasaneg bertanggung jawab langsung kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga Ketua Dewan Pembina PD.

"Lemsaneg itu melapor kepada Presiden. Artinya, sebagai Ketua Parpol, SBY dan Demokrat diuntungkan," ujar Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia Said Salahudin, Kamis (26/9/2013) di Jakarta.

Dia menilai KPU keliru karena melibatkan lembaga militer tersebut dalam pengamanan data pemilu. Ia mendesak penyelenggara pemilu itu membatalkan nota kesepahaman yang ditandatangani Selasa (24/9/2013) lalu itu.

Said menuturkan, Lemsaneg memiliki tanggung jawab atas pengelolaan data perhitungan dan perolehan suara pemilu. Padahal, data pemilu tidak berkaitan dan tidak membahayakan pertahanan dan keamanan negara.

Menurutnya, Lemsaneg hanya diberi tanggung jawab menagamankan data-data rahasia yang berpotensi membahayakan pertahanan dan keamanan negara. Sebaliknya, tuturnya, informasi dan data hasil pemilu, adalah informasi yang harus dinyatakan terbuka. Setiap warga negara tidak boleh dihambat untuk mengakses data tersebut.

Apalagi, tambahnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), data hasil pemilu adalah bagian dari informasi publik. Sedangkan, imbuhnya, pelibatan Lemsaneg berarti menjadikan informasi pemilu sebagai informasi rahasia.

Terkait kerahasiaan itu, lanjut Said, alih-alih diumumkan kepada publik, hasil pemilu dikhawatirkan lebih dulu dilaporkan terhadap Presiden SBY. "Demokrat berpeluang menjadi partai yang pertama kali mengetahui informasi tersebut. Nah, ini kan bisa mencederai prinsip persamaaan dan keadilan Pemilu bagi parpol lainnya," ujarnya.

KPU meminta bantuan Lemsaneg untuk menjaga penyampaian hasil pemungutan suara Pemilu 2014. Selain dengan pengamanan sistem informasi dan teknologi milik KPU, Lemsaneg juga menerjunkan anggotanya di beberapa daerah.

"Jadi, nanti semua perolehan hasil pemungutan suara dari TPS (tempat pemungutan suara) itu kami kirim melalui jalur yang paling aman. Tidak akan disadap, diretas, dimanipulasi, dan diubah-ubah," ujar Kepala Lemsaneg Mayjen TNI Djoko Setiadi usai penandatangan nota kesepahaman dengan KPU, Selasa (24/9/2013) di Gedung KPU, Jakarta.

Ia menyatakan, hasil perolehan suara merupakan hal terpenting dalam proses pemungutan suara. Penjagaan oleh pihaknya, ujar Djoko, untuk menjamin rekapitulasi perolehan suara di setiap tingkatan sama. "Jadi hasil perolehan di titik TPS harus sama dengan yang sampai di pusat. Itu yang kami jaga," lanjutnya.

Editor : Hindra Liauw

Pilkada Lampung Tetap 2013, Pemprov Didesak Kucurkan Dana

Posted: 26 Sep 2013 07:10 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) meminta pemilihan kepala daerah (pilkada) Gubernur Lampung tetap diselenggarakan 2013. Untuk itu, Kemendagri mendesak Pemerintah Provinsi Lampung untuk segera mengalokasikan anggaran pemilihan gubernur.

"Diupayakan sekuat tenaga pilkada Lampung pada 2013 ini. Itu dikaitkan dengan dukungan ketersediaan anggaran. Kami minta Gubernur berkoordinasi dengan DPRD Lampung mengenai ketersediaan anggaran untuk Pilgub pada 2013," kata Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri Djohermansyah Djohan di Jakarta, Kamis (26/9/2013), usai bertemu dengan Gubernur Lampung Sjachroedin ZP.

Djohermansyah menyatakan, jika anggaran tidak memungkinkan untuk dikucurkan pada 2013, pihaknya mendesak gubernur dan DPRD segera membahas APBD 2014. Di dalamnya, kata dia, harus mengalokasikan anggaran pilkada.

"APBD Lampung sudah bisa diketok palu (disahkan) Oktober ini. Setelah itu, langkah-langkah persiapan untuk Pilgub Lampung sudah bisa dilakukan untuk 2014," imbuhnya.

Adapun, Gubernur Lampung Sjachroedin ZP menyampaikan, pihaknya akan segera menggelar pertemuan dengan DPRD Lampung untuk menindaklanjuti hasil perrtemuan tersebut, termasuk kemungkinan penyelenggaraan pilkada pada 2013 ini.

"Segera akan kami bahas. Kami mengupayakan sebisa mungkin untuk diselenggarakan pada 2013. Oleh karena itu, kami akan mencoba menentukan anggarannya," kata Sjachroedin.

Hanya, dia mengaku sulit untuk dapat mengadakan pilkada tahun ini. Pasalnya, kata dia, kondisi keuangan Pemda sedang defisit dan perubahan APBD mustahil dilakukan.

"Melihat kenyataan saja sekarang sudah bulan September, untuk perubahan APBD sudah tidak ada waktu. Kemarin tidak diajukan revisi APBD (2013) karena ada kesepakatan," katanya.

Editor : Hindra Liauw

Sopir: Fathanah Paling Sering ke Hotel Kempinski

Posted: 26 Sep 2013 07:00 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com — Nur Hasan, pria yang pernah menjadi sopir Ahmad Fathanah, mengaku sering mengantar bosnya itu ke Hotel Kempinski, Jakarta. Namun dia tak tahu urusan Fathanah mendatangi hotel tersebut.

"Ke Hotel Kempinski, Pak. Itu yang paling sering," kata Hasan saat bersaksi untuk terdakwa kasus dugaan suap pengaturan kuota impor daging sapi dan pencucian uang Fathanah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (26/9/2013).

Selain itu, Hasan mengataan, Fathanah pernah memintanya mengantarkan tas hitam ke Rumah Sakit Abdi Waluyo. Tas hitam kemudian diberikan kepada pihak mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Luthfi Hasan Ishaaq.

"Waktu itu pernah disuruh antar dari Hotel Kempinski ke Waluyo. Katanya nanti di sana ada orang dari Pak Luthfi Hasan," terang Hasan.

Hasan juga mengaku kerap mengantar Fathanah ke Kementerian Pertanian, Jakarta. Hasan mengatakan, Fathanah memang tidak memiliki kantor tetap. Meski kerap mengantar, Hasan mengaku tak pernah ikut masuk.

"Kadang-kadang ke Deptan (Kementerian Pertanian). Seminggu dua kali atau bisa tiga kali," kata pria yang sudah bekerja dengan Fathanah selama 10 bulan itu.

Seperti diketahui, dalam persidangan juga sering terungkap bahwa Fathanah kerap melakukan pertemuan di Hotel Kempinski. Pertemuan itu antara lain dengan model Vitalia Shesya dan bakal caleg, Ongki Wijaya Ismail Putra. Di hotel itu pula, Fathanah dikatakan menerima uang dari Direktur Utama PT Intim Perkasa Andi Revi Sose, dan 10.000 dollar AS dari Direktur PT Green Life Bioscience, Billy Gan.

Dalam kasus ini, Fathanah didakwa melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Fathanah didakwa bersama-sama Luthfi menerima uang Rp 1,3 miliar dari PT Indoguna Utama terkait kepengurusan kuota impor daging sapi.

Dia juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang dengan menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membayarkan, dan membelanjakan harta kekayaan yang nilainya mencapai Rp 34 miliar dan 89.321 dollar AS. Diduga, harta tersebut berasal dari tindak pidana korupsi.

Editor : Hindra Liauw

Sakit, Robert Tantular Batal Diperiksa KPK

Posted: 26 Sep 2013 06:45 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi batal memeriksa Direktur Utama PT Century Mega Investindo Robert Tantular sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan bank gagal berdampak sistemik untuk Bank Century, Kamis (26/9/2013).

Robert batal diperiksa KPK karena dia mengaku sakit. "Tadi ada informasi bahwa Robert sakit," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Kamis.

KPK pun akan menjadwalkan ulang pemeriksaan Robert. Namun Johan mengaku belum tahu kapan Robert akan kembali dipanggil untuk diperiksa. Robert diperiksa karena dianggap tahu seputar kasus dugaan korupsi Century. Dia sudah lima kali diperiksa KPK sebagai saksi dalam kasus ini.

Seusai diperiksa beberapa waktu lalu, Robert mengungkapkan adanya dugaan penyelewenangan dana bailout (dana talangan) sebesar Rp 6,7 triliun yang digelontorkan untuk penyelamatan Bank Century. Terpidana empat tahun di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait Century ini pun meminta KPK menelusuri dugaan penyelewengan tersebut.

Robert juga menduga ada invisible hand yang sengaja menyebabkan Bank Century kalah kliring atau kolaps. Dengan kondisi tersebut, pemerintah akhirnya campur tangan dan menggelontorkan dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun. Padahal, menurut Robert, Rp 1 triliun saja sudah cukup untuk menyelamatkan Bank Century.

Dalam kasus Century, KPK menetapkan Budi Mulya sebagai tersangka. Budi disangka menyalahgunakan wewenang dalam pemberian FPJP kepada Bank Century tahun 2008 dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Diduga, ada kesengajaan untuk mengubah syarat rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) penerima FPJP dari minimal 8 persen menjadi CAR positif sehingga CAR Century yang ketika itu hanya 2,35 persen bisa mendapat pinjaman Rp 502,07 miliar.

Editor : Hindra Liauw

Penggeledahan Olly Bocor, KPK Pertimbangkan Koordinasi dengan MA

Posted: 26 Sep 2013 06:27 AM PDT


JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi mempertimbangkan untuk berkoordinasi dengan Mahkamah Agung terkait kebocoran rencana penggeledahan rumah anggota DPR Olly Dondokambey di Manado, Sulawesi Utara.

Rencana penggeledahan rumah Olly bocor ketika surat permintaan izin penggeledahan yang disampaikan KPK kepada Pengadilan Negeri Manado beredar. "Kemarin kita ada pemikiran koordinasi (dengan MA), tapi belum ada kesimpulan ke sana," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Kamis (26/9/2013).

Menurut laporan dari Manado, kebocoran surat tersebut diduga berawal dari kelalaian panitera/sekretaris PN Manado yang memperlihatkan surat itu kepada wartawan pada Senin (23/9/2013). Keesokan harinya, Selasa (24/9/2013), surat izin penggeledahan KPK itu menjadi berita utama di harian Lokal di Sulawesi Utara.

Sebagai tindak lanjut atas kebocoran ini, KPK akan memanggil tiga pejabat PN Manado. Menurut laporan dari Manado, ketiga pejabat Panitera Muda Pidana Khusus, Marthen Mendila; Kasubag Umum, Mourets A N, Muaja; dan Panitera/Sekretaris PN Manado, Marthen J TH Ruru.

Menurut Johan, ketiga pejabat PN Manado ini akan diklarifikasi oleh tim penyidik yang menangani kasus Hambalang. Ketiganya diminta hadir di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta pada 1 Oktober 2013.

Johan juga mengungkapkan, pelaku pembocoran informasi penggeledahan yang berkaitan dengan kasus dugaan korupsi sarana dan prasarana Hambalang ini bisa dipidana. Pelaku bisa dianggap menghalang-halangi proses penyidikan KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal tersebut berbunyi, "Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)".

"Bisa saja kalau memang KPK menemukan bukti-bukti penyebaran dalam rangka menghalang-halangi penyidikan tetapi pemanggilan terhadap pegawai ini untuk klarifikasi dulu cerita soal itu. Kemarin kan kita koordinasi pengadilan. Untuk telusuri itu, untuk kita lakukan penelusuran Pasal 21 atau enggak," ujar Johan.

Seperti diberitakan sebelumnya, salinan surat izin untuk menggeledah rumah Olly yang dikirimkan KPK ke PN Manado beredar di kalangan media pada Senin (23/9/2013) malam. Padahal ketika itu, penggeledahan belum dilakukan.

Kini, KPK batal menggeledah rumah Olly yang berada di Jalan Manibang, Keluarahan Malalayang, Kota Manado, Sulawesi Utara. Meskipun demikian, tim penyidik KPK tetap menggeledah rumah Olly yang beralamat di Jalan Reko Bawah, Desa Kolongan, Kecamatan Kalawat, Kabupaten Minahasa Utara.

Dari penggeledahan di rumah ini, KPK menyita satu set furnitur mewah berupa meja makan dan empat kursi yang diduga sebagai pemberian dari tersangka Hambalang, mantan Direktur Operasional I PT Adhi Karya Teuku Bagus Mohammad Noor.

Editor : Hindra Liauw

No comments:

Post a Comment