KOMPAS.com - Nasional

KOMPAS.com - Nasional


Konflik Agraria Terkait dengan Korupsi

Posted: 27 Dec 2012 09:16 AM PST

Konflik Agraria Terkait dengan Korupsi

Penulis : Khaerudin | Jumat, 28 Desember 2012 | 00:00 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -- Maraknya konflik agraria sepanjang tahun 2012 ditengarai terkait erat dengan tindak pidana korupsi oleh kepala daerah. Kepala daerah selaku pejabat yang berwenang memberikan izin pengelolaan atas lahan di wilayahnya, rentan disuap oleh pengusaha. Pada akhirnya, rakyat yang tak memiliki akses apalagi modal, menjadi korban paling nyata dari praktik kongkalikong pengusaha dengan kepala daerah.

Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan, sepanjang tahun 2012 terjadi 198 konflik agraria dengan jumlah korban rakyat mencapai 141.915 keluarga.

Menurut Iwan, pada tahun ini terkuak pula konflik agraria sangat erat kaitannya dengan tindak pidana korupsi, khususnya penyuapan. Iwan mencontohkan, pada kasus suap terhadap Bupati Buol Amran Batalipu yang dilakukan pengusaha Siti Hartati Murdaya agar perusahaan perkebunannya mendapatkan hak guna usaha, terlihat jelas bagaimana pemilik modal bisa dengan mudah mendapatkan pengelolaan lahan dengan menyuap kepala daerah.

"Ini membuktikan bahwa selama ini konflik sangat terkait dengan kejahatan korupsi berupa penyuapan dan akrobat hukum lainnya," kata Iwan, Kamis (27/12/2012) di Jakarta.

Akibatnya, rakyat selalu menjadi pihak yang dikalahkan setiap kali terlibat konflik agraria dengan pemilik modal. Di sisi lain, pemerintah pun tak pernah berkomitmen membela rakyat karena disuap pengusaha.

"Tahun 2012 adalah tahun yang mengubur keadilan korban konflik agraria akibat pemerintah tidak berkomitmen menyelesaikan," kata Iwan.

Izin Pengelolaan SDA Banyak Keluar Menjelang Pilkada

Posted: 27 Dec 2012 09:00 AM PST

Izin Pengelolaan SDA Banyak Keluar Menjelang Pilkada

Penulis : Khaerudin | Kamis, 27 Desember 2012 | 23:37 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menemukan modus tindak pidana korupsi terkait dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA) di daerah. Dari kajian yang dilakukan terhadap tata kelola kehutanan dan sumber daya alam, ditemukan pola yang sama, yakni izin pengelolaan oleh swasta banyak diberikan kepala daerah menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada).

Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan, KPK telah memaparkan kajian tentang tata kelola kehutanan ke publik. Dari kajian tersebut ditemukan adanya tumpang tindih regulasi soal kehutanan, hingga modus penyelewenangan dalam pemberian izin pengelolaan sumber daya alam.

"Izin untuk memberikan (hak pengelolaan) kepada pengusaha-pengusaha mengenai hutan dan tabang frekuensinya naik menjelang pilkada. Setelah pilkada selesai, turun lagi. Kemudian naik lagi ketika era kepala daerah terpilih mulai memerintah," kata Busyro, Kamis (27/12/2012) di Jakarta.

Menurut dia, modus penyelewengan dalam pemberian izin pengelolaan SDA oleh kepala daerah ini menunjukkan tidak terkontrol dan transparannya tata kelola hutan dan SDA di Indonesia.

"Tidak terkontrolnya sistem hutan secara transparan sehingga ada kekayaan di bidang kehutanan ini dikelola pemda dan timbul masalah. Problemnya yaitu berdasarkan tata kelola pemerintahan yang menganut otonomi daerah, ternyata ada konsentrasi kekuatan berlebih pada kepala daerah tingkat satu dalam soal pemberian izin atau lisensi," katanya.

Busyro mencontohkan, salah satu kasusnya adalah suap oleh pengusaha Siti Hartati Murdaya kepada Bupati Buol Amran Batalipu. Hartati diduga menyuap Amran agar perusahaannya mendapatkan izin hak guna usaha perkebunan di Kabupaten Buol, meski pun hak guna usaha tersebut diberikan di wilayah yang tak seharusnya. Amran ketika itu sedang menghadapi pilkada dan membutuhkan dana untuk persiapannya.

KPK: Silahkan Kaji LP Khusus Koruptor

Posted: 27 Dec 2012 08:45 AM PST

Pemberantasan Korupsi

KPK: Silahkan Kaji LP Khusus Koruptor

Penulis : Khaerudin | Kamis, 27 Desember 2012 | 23:29 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -- Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) mempersilahkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengkaji usulan tentang lembaga pemasyarakatan (LP) khusus untuk koruptor. Namun yang terpenting, bagi KPK, LP khusus koruptor tersebut harus bisa mencegah terjadinya berbagai penyelewengan.

Juru Bicara KPK Johan Budi SP mengatakan, KPK tak memiliki wewenang lagi begitu seorang terdakwa kasus korupsi diputuskan bersalah oleh hakim. Kewenangan penahanan menjadi domain Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM.

Untuk itulah menurut Johan, KPK tidak dalam posisi setuju atau tidak setuju terhadap usulan LP khusus koruptor. "Silahkan Kementerian Hukum dan HAM melakukan kajian, karena itu wewenang mereka, bukan lagi wewenang KPK," kata Johan, Kamis (27/12/2012) di Jakarta.

Menurut Johan, hal terpenting bagi KPK adalah tahanan kasus korupsi tidak bisa berbuat sesuatu yang membuat terjadinya penyelewenangan di dalam LP. Kemungkinan terjadi kongkalikong antara tahanan korupsi yang masih memiliki kekayaan dalam jumlah besar, dengan sipir di LP bisa saja terjadi. Apalagi mengingat berbagai kasus penyelewengan sipir penjara dengan tahanan kasus narkoba.

Ketua KPK Tak Mendesak Pemakzulan Boediono

Posted: 27 Dec 2012 08:45 AM PST

Kasus Century

Ketua KPK Tak Mendesak Pemakzulan Boediono

Penulis : Khaerudin | Kamis, 27 Desember 2012 | 23:33 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad membantah telah mendesak DPR melakukan pemakzulan terhadap Wakil Presiden Boediono terkait kasus dana talangan Bank Century.

"Tidak pernah saya mendesak DPR untuk melakukan pemakzulan. Saya sampaikan bahwa janganlah karena KPK belum menetapkan seseorang sebagai tersangka terus dianggap menghambat penyidikan itu sendiri," kata Abraham, Kamis (27/12/2012) di Jakarta.

Abraham mempersilakan DPR dengan hak dan kewenangannya memulai penyelidikan terkait kasus dana talangan Bank Century. "Silakan DPR memulai penyelidikan tanpa harus menunggu KPK menetapkan orang-orang itu sebagai tersangka," katanya.

Setgab: HMP Boediono Tak Akan Terjadi

Posted: 27 Dec 2012 08:29 AM PST

Skandal Century

Setgab: HMP Boediono Tak Akan Terjadi

Penulis : Sandro Gatra | Kamis, 27 Desember 2012 | 23:11 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Hak menyatakan pendapat (HMP) oleh Dewan Perwakilan Rakyat terkait dugaan keterlibatan mantan Gubernur Bank Indonesia yang kini menjadi Wakil Presiden, Boediono, dalam kasus dugaan korupsi bail out Bank Century diyakini tidak akan terjadi.

Sekretaris Sekretariat Gabungan (Setgab) Syarif Hasan mengatakan, semua pimpinan partai politik yang tergabung dalam Setgab sudah menyepakati bahwa penanganan perkara Bank Century diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Kita kan pernah ketemu ketika isu ini mengemuka dulu. Semua orang (anggota) Setgab sepakat kok bahwa itu diserahkan kepada KPK. Karena itu keputusan Paripurna DPR. Jadi konsisten aja," kata Syarif di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (27/12/2012).

Menurut Syarif, wacana HMP yang dilontarkan para politisi dari parpol koalisi belakangan ini merupakan sikap individu dan tak akan menjadi sikap parpol. Hanya saja, pihaknya akan memantau perkembangan wacana itu setelah masa reses DPR selesai.

Seperti diberitakan, wacana HMP muncul setelah KPK menemukan bukti adanya dugaan tindak pidana korupsi berupa penyalahgunaan kewenangan terhadap dua pejabat BI ketika bail out dikucurkan. Keduanya, yakni Budi Mulya dan Siti Fajriyah.

Keduanya dianggap melakukan penyalahgunaan kewenangan dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Di koalisi, politisi Partai Golkar yang terus mendorong dilakukannya HMP.

Baca juga:
Soal Century, Politisi Jangan Hanya Cari Panggung Politik
Anas: Hak Menyatakan Pendapat Tidak Ada Urgensinya
KPK Harus Temukan Motif Pemberian FPJP Bank Century
Politisasi Century Berakhir Antiklimaks di Senayan?
Lima Bola Liar Skandal Century

Berita terkait perkembangan penanganan kasus Bank Century dapat diikuti dalam topik:
Apa Kabar Kasus Century?

618 Konflik Agraria Selama Yudhoyono Memerintah

Posted: 27 Dec 2012 08:29 AM PST

Konflik Lahan

618 Konflik Agraria Selama Yudhoyono Memerintah

Penulis : Khaerudin | Kamis, 27 Desember 2012 | 23:13 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -- Sepanjang masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sejak tahun 2004, Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat sebanyak 618 konflik agraria di seluruh wilayah Indonesia. Konflik ini telah menewaskan 44 orang, dengan cakupan areal sengketa 2.399.314,49 hektar dan melibatkan 731.342 keluarga.

Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin mengatakan, sepanjang masa pemerintahan Yudhoyono itulah, konflik agraria megakibatkan 941 orang ditahan, 396 luka-luka dan 63 di antaranya mengalami luka serius karena terkena peluru aparat.

"Semua wilayah konflik agraria ini memperlihatkan korelasi yang sangat kuat dengan dikeluarkannya izin dan hak perusahaan perkebunan, kehutanan dan tambang di atas tanah-tanah yang dikelola oleh masyarakat," kata Iwan kepada Kompas di Jakarta, Kamis (27/12/2012).

Meski jumlah konflik agraria cenderung meningkat, menurut Iwan, tak ada komitmen dari pemerintah untuk menyelesaikannya. "Meski telah menimbulkan konflik, belum ada satupun SK pejabat BPN, Kemenhut, Kementerian ESDM dan pemda direvisi atau dicabut untuk menyelesaikan konflik, padahal kewenangan pejabat tersebut terbuka lebar," katanya.

Dilaporkan Aceng ke Polisi, Ini Tanggapan Mendagri

Posted: 27 Dec 2012 07:58 AM PST

JAKARTA, KOMPAS.com - Bupati Garut Aceng HM Fikri melaporkan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi ke Bareskrim Polri dengan tuduhan pencemaran nama baik terkait polemik pernikahan siri Aceng dengan Fany Oktora yang hanya berumur empat hari. Bagaimana tanggapan Mendagri?

Gamawan mengatakan, Aceng harus sadar bahwa dirinya yang menandatangani surat keputusan (SK) pengangkatan Aceng sebagai Bupati Garut. Sebagai koordinator pembinaan penyelenggaraan negara, Gamawan merasa bisa berpendapat mengenai jajarannya.

"Kalau orang yang menandatangani beri pendapat, itu boleh dong. Dia (Aceng) musti tahu itu. Dia jelas dilantik karena ada SK menteri dalam negeri," kata Gamawan di Kantor Presiden, Kamis (27/12/2012).

Gamawan mengatakan, pihaknya menunggu keputusan Mahkamah Agung terhadap rekomendasi DPRD Garut yang menganggap Aceng melanggar etika dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. DPRD Garut mengusulkan pemberhentian Aceng sebagai bupati.

Gamawan menjelaskan, MA mempunyai waktu 30 hari untuk mengambil keputusan. Jika MA juga menyatakan Aceng bersalah, kata dia, sikap DPRD itu akan diteruskan ke dirinya hingga sampai ke Presiden. Setelah itu, Presiden mempunyai waktu 30 hari untuk mengambil keputusan.

Ketika dimintai tanggapan ancaman kerusuhan yang disampaikan pengacara Aceng jika pelengseran benar terjadi, Gamawan menjawab, "kalau begitu kita sudah tahu otak kerusuhan itu. Sudah ada mengancam dari sekarang, tinggal menangkap saja nanti."

Baca juga:
Ke MA, Aceng Minta Keadilan
Kasus Bupati Garut, Polisi Tetapkan Satu Tersangka
DPD: Aceng Masih Bupati, tetapi Tanpa Legitimasi
Kemendagri: Sia-sia, Gugatan Aceng ke PTUN
Pengacara: Yang Kawin Itu Aceng, Bukan Bupati

Selengkapnya, ikuti di topik pilihan:
SKANDAL PERNIKAHAN BUPATI GARUT

Dilapori ke Polisi oleh Aceng, Ini Tanggapan Mendagri

Posted: 27 Dec 2012 07:42 AM PST

JAKARTA, KOMPAS.com - Bupati Garut Aceng HM Fikri melaporkan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi ke Bareskrim Polri dengan tuduhan pencemaran nama baik terkait polemik pernikahan siri Aceng dengan Fany Oktora yang hanya berumur empat hari. Bagaimana tanggapan Mendagri?

Gamawan mengatakan, Aceng harus sadar bahwa dirinya yang menandatangani surat keputusan (SK) pengangkatan Aceng sebagai Bupati Garut. Sebagai koordinator pembinaan penyelenggaraan negara, Gamawan merasa bisa berpendapat mengenai jajarannya.

"Kalau orang yang menandatangani beri pendapat, itu boleh dong. Dia (Aceng) musti tahu itu. Dia jelas dilantik karena ada SK menteri dalam negeri," kata Gamawan di Kantor Presiden, Kamis (27/12/2012).

Gamawan mengatakan, pihaknya menunggu keputusan Mahkamah Agung terhadap rekomendasi DPRD Garut yang menganggap Aceng melanggar etika dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. DPRD Garut mengusulkan pemberhentian Aceng sebagai bupati.

Gamawan menjelaskan, MA mempunyai waktu 30 hari untuk mengambil keputusan. Jika MA juga menyatakan Aceng bersalah, kata dia, sikap DPRD itu akan diteruskan ke dirinya hingga sampai ke Presiden. Setelah itu, Presiden mempunyai waktu 30 hari untuk mengambil keputusan.

Ketika dimintai tanggapan ancaman kerusuhan yang disampaikan pengacara Aceng jika pelengseran benar terjadi, Gamawan menjawab, "kalau begitu kita sudah tahu otak kerusuhan itu. Sudah ada mengancam dari sekarang, tinggal menangkap saja nanti."

Baca juga:
Ke MA, Aceng Minta Keadilan
Kasus Bupati Garut, Polisi Tetapkan Satu Tersangka
DPD: Aceng Masih Bupati, tetapi Tanpa Legitimasi
Kemendagri: Sia-sia, Gugatan Aceng ke PTUN
Pengacara: Yang Kawin Itu Aceng, Bukan Bupati

Selengkapnya, ikuti di topik pilihan:
SKANDAL PERNIKAHAN BUPATI GARUT

No comments:

Post a Comment